PROSES
KEPUTUSAN INOVASI
PROSES KEPUTUSAN INOVASI
adalah proses yang dijalani seseorang (atau unit pengambil keputusan lainnya)
mulai dari kenal suatu inovasi, kemudian menyikapinya lalu mengambil keputusan
untuk mengadopsi atau menolak-nya, melaksanakan keputusan, sampai dengan
pengukuhan keputusan tersebut. Proses ini terdiri dari serangkaian tindakan dan
pemilihan yang dilakukan seseorang atau organisasi untuk menilai suatu gagasan
baru dan memutuskan apakah akan memasukkan ide baru itu ke dalam kegiatan yang
sedang dan atau sudah berlangsung. Tindakan ini berkenaan terutama dengan ketidakpastian
yang mau tak mau ada dalam pemutusan suatu alternatif baru. Kebaruan
yang terlihat pada inovasi ini dan ketidakpastian yang melekat pada kebaruan
itu, merupakan aspek pembeda pembuatan kepastian inovasi (dibandingkan dengan
tipe-tipe keputusan lainnya).
Bab ini bermaksud menguraikan suatu model proses
keputusan inovasi, yang terdiri dari lima
tahap, dan merangkum bukti-bukti bahwa tahap-tahap ini ada. Perhatian utama
kami di bagian ini adalah terhadap keputusan inovasi opsional yang dibuat
seseorang. Namun demikan bahasan ini dapat dijadikan dasar pembahasan kita
tentang proses keputusan inovasi dalam organisasi.
SUATU
MODEL PROSES KEPUTUSAN INOVASI
Para pakar difusi
telah lama tahu bahwa keputusan seseorang tentang sesuatu inovasi bukanlah
merupakan tindakan yang terjadi seketika. Melainkan, merupakan suatu proses
yang terjadi dalam suatu rentang waktu dan terdiri dari serangkaian tindakan.
Bagaimanakah sebetulnya urutan tahap-tahap proses pembuatan keputusan inovasi
itu?.
Model baru kami tentang keputusan-inovasi terpampang
pada gambar 5-1. Pada model ini proses terdiri dari lima tahap :
1. Pengenalan yang terjadi
ketika seseorang (atau unit pembuat keputusan lainnya) dihadapkan pada
keberadaan suatu inovasi dan memahami bagaimana inovasi itu berfungsi.
2. Persuasi terjadi
ketika seseorang membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi.
3. Keputusan terjadi
ketika seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada suatu penentuan
untuk menerima atau menolak inovasi.
4. Pelaksanaan yang terjadi
ketika seseorang menggunakan inovasi itu.
5. Konfirmasi yang terjadi
ketika seseorang mencari penguat terhadap keputusan –inovasi yang telah dibuat
sebelumnya, tetapi bisa jadi ia merubah keputusannya apabila dihadapkan pada
pesan-pesan yang bertentangan.
Proses
keputusan-inovasi adalah proses yang dijalani
seseorang (atau unit pembuat keputusan) mulai dari pengenalan terhadap suatu
inovasi, membentuk sikap, memutuskan untuk menggunakan atau menolak,
melaksanakan penggunaan ide baru itu, dan mengukuhkan keputusan itu. Untuk
sederhananya, kami tidak menampakkan akibat penggunaan inovasi dalam paradigma
ini.
Berikut
ini kami paparkan lebih rinci perilaku yang terjadi pada masing-masing dari
kelima tahap proses keputusan-inovasi itu.
TAHAP
PENGENALAN
Kami
pandang proses keputusan-inovasi itu berangkat dari tahap pengenalan yang
bermula ketika orang (atau unit pengambil keputusan lain) dihadapkan pada keberadaan
inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu.
Mana Datang Dulu, Kebutuhan atau Pengetahuan
tentang inovasi?
Beberapa pengamat
menyatakan bahwa seseorang berperan pasif keti-ka sedang dihadapkan pada
kesadaran-pengetahuan tentang inovasi. Pandangan ini menyatakan bahwa orang
tidak sengaja (kebetulan) mengetahui inovasi, karena orang tidak dapat aktif
mencari suatu inovasi sebelum mengetahui bahwa inovasi itu ada. Misalnya,
Coleman et al (1966:59) menyimpulkan bahwa pengenalan awal tentang suatu obat-obatan
medis terjadi terutama melalui saluran komunikasi dan pesan-pesan penjaja atau
iklan yang tidak dicari oleh para dokter (melainkan datang sendiri); pada tahap
berikutnya dalam proses keputusan-inovasi, para dokter itu menjadi pencari
informasi yang aktif, biasanya kepada teman-teman sejawatnya.
Para sarjana
difusi yang lain karena merasa bahwa seseorang memperoleh kesadaran-pengetahuan
hanya melalui perilaku yang harus diprakarsai, dan bahwa kesadaran itu bukanlah
semata-mata aktifitas yang pasif Predisposisi kita. kecenderungan ini disebut selective
exsposure.[1]
Hassinger (1959) menyatakan bahwa seseorang jarang membuka dirinya pada
pesan-pesan tentang inovasi jika mereka tidak merasa membutuhkannya, dan bahkan
andaikata orang itu dihadapkan pada pesan-pesan tersebut, tidak banyak
dampaknya bila ia tidak melihat relevansi inovasi itu dengan kebutuhannya dan
tidak sejalan dengan sikap dan kepercayaan yang ada padanya.[2]
Misalnya, seorang petani
mungkin saja telah berpergian melewati wilayah ladang jagung hibrida yang
luasnya ratusan kilometer, dan ia "tidak melihat" inovasi jagung yang
unggul itu. Seorang warga kalifornia mungkin telah berjalan di depan
rumah-rumah yang memasang antena parabola dan ia tidak mengetahui inovasi tersebut.
Selective exposure dan selective perception bertindak terutama
sebagai kunci hati kita dalam hal pesan-pesan inovasi, karena ide-ide itu baru.
Kita tidak mungkin punya sikap dan kepercayaan yang konsisten mengenai ide-ide
yang tidak pernah kita sebelumnya. Dengan demikian gagasan selective
exposure dan selective perception ini banyak menopang pandangan
Hasinger bahwa kebutuhan akan suatu inovasi mestinya mendahului
kesadaran-pengetahuan tentang inovasi.
Tetapi bagaimana
kebutuhan kita muncul? Kebutuhan adalah suatu keadaan tak puas atau frustasi
yang terjadi ketika keinginan lebih besar daripada kenyataannya, ketika
keinginan "lebih besar" daripada "perolehan". Mungkin saja,
kebutuhan seseorang tumbuh ketika ia mengetahui ada inovasi, begitu pula
sebaliknya. Beberapa agen pembaru menumbuhkan kebutuhan dikalangan para binaan
dengan cara menunjukkan adanya ide-ide baru yang mereka inginkan. Jadi
pengetahuan tentang keberadaan suatu inovasi dapat memunculkan motivasi untuk
pengapdosiannya.
Sama sekali tidak berarti
bahwa kebutuhan atau masalah yang dirasakan merupakan penjelas yang sangat
sempurna tentang mengapa seseoramg memulai proses keputusan inovasi. Hal ini
sebagian dikarenakan orang tidak melalui mengetahui kapan mereka punya masalah
dan juga kebutuhan seseorang tidak selalu sama dengan apa yang diperkirakan
oleh para ahli. Profesor Edgar Dale mengatakan "Kita mungkin ingin makanan
tetapi tidak membutuhkannya., Dan mungkin kita membutuhkan vitamin tetapi tidak
menginginkannya".
Apa kesimpulannya? Apakah
kebutuhan mendahului pengenalan suatu ide baru ataukah pengenalan terhadap
inovasi menciptakan kebutuhan terhadap ide baru itu? Barangkali ini seperti
pertanyaan : Mana lebih dulu telur ataukah anak ayam? Penelitian yang ada tidak
memberi jawaban yang jelas terhadap pertanyaan "Apakah pengenalan inovasi
ataukah kebutuhan terhadap ide baru yang muncul lebih dulu" ini. Kebutuhan
terhadap inovasi tertentu, misalnya pestisida untuk membasmi kutu loncat yang
merusak tanaman, mungkin datang terlebih dulu sebelum orang mengetahui inovasi
tentang itu. tetapi banyak inovasi lain yang mungkin justru menumbuhkan kebutuhan;
misalnya pada inovasi-inovasi konsumtif seperti mode pakaian.
Tipe-tipe Pengetahuan Inovasi
Seperti
kami kemukakan pada Bab 1, proses keputusan-inovasi pada intinya adalah suatu
pencarian informasi dan kegiatan pemrosesan informasi, di mana orang
termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai kelebihan dan kekurangan
inovasi di dalam memenuhi kebutuhan mereka. Suatu inovasi biasanya mengandung informasi
mengenai perangkat lunak, yakni informasi tentang inovasi itu
sendiri yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian kita tentang sebab akibat
yang berkait dengan pencapaian suatu hasil yang diinginkan (yaitu pemenuhan
kebutuhan atau pemecahan masalah yang dihadapi). Pertanyaan seperti "inovasi
apakah itu?", "Bagaiman cara kerjanya?" dan "mengapa
bisa begitu?" adalah yang biasanya dilontarkan orang begitu ia
mengetahui adanya suatu inovasi. Pengetahuan tentang adanya inovasi ini mendorong
orang mencari pengetahuan "Bagaimana cara" dan pengetahuan
"prinsip-prinsip". Pencarian tipe-tipe informasi ini berada pada
tahap pengenalan dari proses keputusan-inovasi tetapi mungkin juga terjadi pada
tahap persuasi dan keputusan.
Pengetahuan
“bagaimana cara” terdiri dari informasi yang diperlukan untuk menggunakan suatu
inovasi dengan tepat. Pengguna haruslah memahami berapa banyak penggunaan
inovasi itu agar aman, bagaimana menggunakannya dengan tepat/benar, dan
sebagainya. Pada inovasi-inovasi yang relatif rumit, pengetahuan bagaimana cara
yang diperlukan untuk pengadopsian yang tepat lebih banyak daripada
inovasi-inovasi yang sederhana . dan bila tidak diperoleh pengetahuan ini
secara memadai sebelum percobaan dan pengadopsian, kemungkinan besar terjadi
penolakan atau diskontinuansi. Sampai sekarang hanya sedikit penyelidikan
mengenai pengetahuan ini.
Pengetahuan
“prinsip” terdiri dari informasi berkenaan denagn prinsip-prinsip yang
mendasari bagaimana inovasi itu berfungsi. Contoh pengetahuan prinsip adalah :
teori kuman yang mendasari berfungsinya vaksinasi dan jamban keluarga dalam kampanye
sanitasi dan kesehatan desa; dasar-dasar reproduksi manusia, yang membentuk
dasar bagi inovasi keluarga berencana; dan biologi pertumbuhan tanaman
mendasari inovasi pupu. Biasanya tanpa “pengetahuan prinsip keilmuan” ini
seseorang telah dapat mengadopsi inovasi, tetapi bahaya salah pakai ide-ide
baru akan lebih besar, dan mungkin terjadi diskontinuansi. Tentu kemampuan
seseorang untuk meramal masa depan inovasi dalam jangka panjang akan mudah jika
ia menguasai pengetahuan prinsip inovasi itu.
Apakah
peranan agen pembaru dalam penyampaian ketiga tipe pengetahuan itu? Kebanyakan
agen pembaru memusatkan usaha mereka pada penciptaan pengetahuan-kesadaran
(pengetahuan ttg adanya inovasi), walaupun tujuan ini sebetulnya dapat dicapai
dengan lebih efisien melalui media masa. Agen pembaru mungkin dapat memainkan
peran yang penting dalam proses keputusan-inovasi bila mereka memusatkan pada
pengetahuan “bagaimana cara”, yang penting bagi klien pada tahap percobaan dan
keputusan. Kebanyakan agen pembaru menganggap penciptaan pengetahuan prinsip di
luar tanggung jawab mereka dan lebih tepat sebagai tugas sekolah dan pendidikan
umum. Sangatlah sulit bila agen pembaru mengajar pemahaman mengenai prinsip-prinsip
ilmu yang mendasari inovasi. Tetapi bila binaan tidak memahami ini, tugas
jangka panjang agen pembaru tetap sulit.
Orang Yang Tahu Inovasi Lebih Awal dan Lebih Akhir
Beberapa rampatan berikut ini merangkum hasil-hasil temuan penelitian berkenaan awal akhirnya mengetahui inovasi:
Rampatan 5-1: Orang
yang lebih awal mengetahui inovasi, pendidikannya lebih tinggi daripada yang
tahu belakangan.
Rampatan 5.2 :
Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, status sosialnya lebih tinggi
daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.3: orang
yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak beterpa media massa daripad ayang tahu belakangan .
Rampatan 5.4: Orang
yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak terkait pada saluran
komunikasi antar pribadi daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.5: Orang
yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih sering kontak dengan agen pembaru
daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.6: Orang
yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih tinggi partisipasi sosialnya daripada
yang tahu belakangan.
Rampatan 5.7: Orang
yang awal tahu suatu inovasi lebih kosmopolit dari pada yang belakangan tahu.
Ciri-ciri orang yang lebih awal tahu suatu
inovasi sama dengan ciri-ciri inovator: lebih tinggi pendidikannya, lebih
tinggi status sosialnya, dsb. Tetapi tentu saja saja ini tidak berarti bahwa
orang yang lebih dulu tahu inovasi pasti inovator.
Mengetahui suatu inovasi seringkali tidak otomatis
menggunakannya. Kebanyakan orang tahu banyak tentang inovasi tetapi tidak
mengadopsinya. Mengapa? Salah satu alasan. Mungkin orang itu mengenal suatu ide
baru tetapi menganggapnya tidak relevan dengan situasi dirinya, atau tidak
menganggapnya sebagai suatu yang bermanfaat. Karena itu sikap terhadap inovasi
seringkali mengantarai tahap pengetahuan dan keputusan. Dengan kata lain, sikap
atau kepercayaan seseorang tentang inovasi dapat dikatakan sebagai jembatan
menuju keputusan.
TAHAP PERSUASI
Pada tahap
persuasi[3] dari
proses keputusan inovasi seorang membentuk sikap[4] berkenan
atau tidak berkenan terhadap inovasi. Apabila kegiatan mental pada tahap
pengetahuan yang terutama adalah kognitif (untuk mengetahui), pada persuasi
adalah efektif (perasaan, kepercayaan). Sebelum seseorang mengetahui suatu ide
baru tentu saja ia tidak dapat menyikapinya.
Pada tahap persuasi
orang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi; ia aktif mencari
informasi mengenai ide baru. Menjadi penting pada tahap ini adalah di mana
ia mencari informasi, pesan apa yang ia terima, dan bagaimana ia menafsir
informasi yang ia terima itu. Selective perception penting dalam
menentukan perilaku seseorang pada tahap persuasi, karena pada tahap inilah
orang mengembangkan pandangan umumnya tentang inovasi, terutama keuntungan
relatif, kesesuaian dan kerumpilannya, sangat penting dalam tahap ini (gambar
5-1).
Dalam
mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi secara mental
orang menerapkan ide baru itu ke dalam situasi diri-nya sekarang, atau masa
mendatang, sebelum menentukan apakah ia akan mencobanya atau tidak. Kemampuan berpikir
hipotetik dan bukan faktual semata, dan kemampuan memproyeksi masa depan,
termasuk perencanaan, merupakan kemampuan mental yang penting dalam tahap
persuasi.
Semua inovasi
menimbulkan ketakpastian bagi seseorang, yang umumnya tidak percaya hasil-hasil
ide baru itu. Karena itu ia membutuhkan penguat sosial bagi sikapnya terhadap
ide baru itu. Orang ingin tahu bahwa pemikirannya sejalan dengan pandangan
teman-temannya. Pesan-pesan media massa
terlalu umum untuk memberi penguatan khusus yang diperlukan orang dalam upaya
pengukuhan kepercayaannya terhadap inovasi.
Pada tahap
persuasi, terutama pada tahap keputusan nanti, orang biasanya akan mencari
“informasi penilaian-inovasi”, yang dapat mengurangi ketidakpastian akan akibat/hasil
yang diharapkan dari suatu inovasi. Di sini biasanya orang ingin memperoleh
jawab atas pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah hasil/akibat penggunaan
inovasi ini?” dan “Apakah kemanfaatan dan kemudorotan inovasi ini bagi
saya, kalau saya menggunakannya?”. Untuk jenis ini informasi seperti ini,
walaupun seringkali mudah diperoleh dari penilaian ilmiah tentang inovasi, yang
biasanya dicari orang adalah informasi-informasi dari teman-teman mereka yang
punya pandangan subyektif mengenai inovasi (berdasar pengalaman pribadi dalam
pengadopsian inovasi); informasi ini lebih menyakinkan mereka. Seringkali kita
terdolong unuk mengadopsi inovasi ketika orang yang senasib dengan kita
mengemukakan penilaian mereka yang positif tentang ide baru itu.
Hasil pokok
tahap persuasi adalah sikap yang berkenan atau tidak berkenan terhadap suatu
inovasi. Diperkirakan persuasi ini menimbulkan perubahan perilaku nyata
berikutnya (yakni pengadopsian atau penolakan inovasi) sejalan dengan sikap
yang telah terbentuk. Tetapi kita tahu bahwa banyak kasus di mana sikap tidak
sejalan dengan tindakan.
Kesenjangan
antara sikap berkenaan dengan pengadopsian inovasi banyak dikemukan terhadap
pada ide-ide kontrasepsi di negara-negara yang sedang berkembang. Misalnya, 80%
atau lebih orang tua balita di negara seperti India
dan Pakistan
yang disigi mengatakan mengetahui cara-cara KB dan berkenan (setuju) menggunakannya.
Tetapi hanya 15-20% dari mereka yang betul-betul mengadopsinya (Roger,
1973:228). Perbedaan sikap dan penggunakan ini disebut kesenjangan KAP (singkatan
dari Knowledge-Attitude-Practice) dalam bidang keluarga berencana.
Barangkali kesenjangan ini terjadi karena (1) alat kontrasepsi tidak siap
diterima, dan atau (2) dalam pikiran para calon akseptor KB, cara-cara KB yang
ada sangat tidak cocok untuk para orang tua karenabeberapa efek samping
tertentu yang tidak diinginkan dari alat-alat kontrasepsi itu.
Mungkin yang
penting dicatat di sini adalah bahwa terbentuk sikap berkenan atau tak berkenan
terhadap suatu inovasi langsung dan segera membawa orang pada pengambilan
keputusan untuk mengadopsi atau menolaknya. Namun demikian ada kecenderungan
bahwa antara sikap dan perilaku itu lebih sejalan.
Inovasi
preventif
adalah ide baru yang diterima seseorang dalam rangka menghindari terjadinya
peristiwa yang tidak diinginkan di masa mendatang. Peristiwa yang tak
diinginkan itu bisa terjadi (atau tidak) bila inovasi itu tidak diadopsi.
Dengan demikian akibat (hasil) yang diharapkan dari inovasi preventif itu tidak
pasti. Dalam demikian akibat (hasil) yang diharapkan dari inovasi preventif itu
tidak pasti. Dalam situasi seperti itu motivasi orang untuk mengadopsi menjadi
agak lemah. Contoh inovasi preventif adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi,
penggunaan sabuk pengaman mobil, asuransi, membuat persiapan menghadapi bencana
alam, dsb. Walaupun orang merasakan kebutuhan terhadap inovasi semacam itu, dan
terjangkau, sering ia tidak mengadopsinya. Karena itu biasanya tingkat adopsi
inovasi-inovasi preventif biasanya sangat rendah.
Ketidak-ajekan
persuasi-adopsi pada inovasi preventif kadang-kadang dapat ditutupi dengan
suatu isyarat bertindak, yakni suatu peristiwa pada saat mengkristalnya
sikap berkenan berubah menjadi tingkah laku nyata. Beberapa isyarat
bertindak itu terjadi secara alami; misalnya, banyak wanita mengadopsi
kontrasepsi ketika mereka mengalami ketakutan untuk kehamilan atau keguguran
(Rogers, 1973: 295-296). Pada kasus lain, kadang-kadang isyarat-bertindak
dapat diciptakan oleh agen pembaru; misalnya beberapa program keluarga
berencana nasional memberi inseptif sebagai isyarat bertindak bagi calon
akseptor.
TAHAP KEPUTUSAN
Tahap
keputusan dalam proses keputusan inovasi terjadi ketika seseorang terlibat
dalam kegiatan yang membawanya pada penentuan untuk menerima atau menolak
inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya
suatu inovasi sebagai suatu cara tindakan terbaik yang ada. Penolakan
adalah keputusan untuk tidak menggunakan suatu inovasi.
Bagi
kebanyakan orang, salah satu cara mengatasi ketidak-pastian konsekensi suatu
inovasi adalah dengan mencoba sebagian ide baru itu. Sebetulnya, kebanyakan
orang tidak akan mengadopsi suatu inovasi tanpa mencobanya terlebih dulu untuk
memastikan kemanfaatan inovasi itu bagi situasi dirinya sendiri. Percobaan
dalam skala kecil sering menjadi bagian dari keputusan untuk mengadopsi, dan
penting sebagai cara untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan pengguna
mengenai inovasi. Dalam-dalam kasus tertentu, ada inovasi yang tidak dapat
dicoba, sehingga harus begitu saja diadopsi. Kebanyakan orang mencoba suatu
inovasi kemudian bergerak ke suatu keputusan adopsi, bila setidak-tidaknya
inovasi itu punya suatu tingkat keuntungan relatif tertentu. Cara-cara untuk
memudahkan pencobaan inovasi dapat ditempuh misalnya dengan jalan membagikan sampel
(contoh) inovasi secara gratis kepada para calon pengguna. Bukti mengenai hal
ini diketemukan dari esperimen kancah dikalangan petani lowa, bahwa gratisan
(pemberian cuma-cuma) contoh obat pembasmi rumput baru telah mempercepat
periode keputusan inovasi sekitar satu tahun (Klonglan, 1962, 1963; Klonglan et
al, 1960a, 1963).
Untuk
orang-orang tertentu dan pada inovasi-inovasi tertentu, percobaan yang
dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan dirinya telah dianggap cukup
sebagai pengganti. Agen pembaru sering berusaha mempercepat proses
keputusan-inovasi seseorang dengan mengadakan peragaan suatu ide baru di dalam
suatu sistem sosial. Ada
bukti bahwa strategi peragaan itu sangat efektif, terutama bila peraganya
pemuka masyarakat (Magill dan Rogers, 1981).
Perlu diingat proses
keputusan inovasi menurut logika biasa mengarah pada penolakan di samping
menuju adopsi . Sebetulnya, setiap, tahap dalam proses itu . Misalnya, bisa
saja orang menolak suatu inovasi pada tahap pengetahuan dengan jalan begitu
saja melupakan setelah mengenal suatu inovasi. Dan tentu saja penolakan dapat
pula terjadi walaupun sebelumnya orang telah memutuskan untuk menerima. Inilah Penghentian
(discontinuation), yang terjadi pada tahap pengukuhan.
Penolakan
inovasi dapat dibedakan menjadi dua macam :
1. Penolakan
aktif,
yaitu penolakan yang dilakukan seseorang setelah ia mempertimbangkan untuk
mengadopsinya (bahkan mungkin sudah pernah mencoba) tetapi kemudian akhirnya
memutuskan untuk tidak mengadopsinya.
2. Penolakan
Pasif
(disebut
juga non-adopsi), yakni orang yang tidak pernah bersungguh-sungguh
mempertimbangkan penggunaan inovasi.
Jelas kedua
tipe penolakan ini berbeda. Sayangnya dalam penelitian difusi keduanya sering
belum dibedakan. Mungkin karena adanya prasangka (bias) dalam kebanyakan
kajian difusi, tindak penolakan inovasi belum banyak mendapat perhatian ilmiah.
Di samping
itu, biasanya dalam-dalam kajian difusi tertentu ada asumsi tersirat tentang
urutan lurus (linear) ketiga tahapan pertama proses keputusan inovasi;
pengetahuan persuasi keputusan. Dalam beberapa kasus, urutan yang terjadi
mungkin pengetahuan-keputusan-persuasi. Misalnya, di suatu desa di Korea yang
pernah saya teliti, para ibu yang sudah menikah dikumpulkan pada suatu tempat.
Setelah petugas pemerintah memberi ceramah tentang IUD (suatu alat
kontrasepsi), para ibu yang ingin mengadopsi diminta mengacungkan tangan
(Rogers dan Kincaid, 1981:15). Delapan belas ibu mengacungkan tangan secara
sukarela (mungkin sudah disiapkan), dan segera berbondong-bondong menuju klinik
untuk pasang IUD. Dalam kasus ini, suatu keputusan inovasi yang mestinya
opsional hampir menjadi keputusan-inovasi kolektif sebagai akibat adanya
tekanan kelompok yang kuat. Strategi beracu-kelompok untuk keluarga berencana
yang mirip ini juga terjadi di “kelompok perencanaan kelahiran” di RRC dan
dalam pendekatan banjar di Bali,
Indonesia
(Rogers dan Chen, 1980). Di kedua tempat itu masyarakat menentukan siapa yang
menginginkan anak, maka orangtuanya dianjurkan untuk masuk ke dalam kelompok
perencanaan kelahiran ini. Tekanan kelompok yang begitu kuat untuk mengadopsi
inovasi mungkin dipandang rendah (menjijikkan) bagi nilai-nilai kebebasan pada
budaya-budaya tertentu, tetapi tidak di Korea,
Cina, Indonesia. Dengan demikian, urutan
pengetahuan-persuasi-keputusan seperti yang dikemukakan pada model kami (gambar
5-1) mungkin terkait budaya. Dalam beberapa setting budaya, tahap
pengetahuan-pesuasi-keputusan mungkin berlangsung dalam satu urutan,
setidak-tidaknya untuk inivasi-inovasi tertentu.
TAHAP PELAKSANAAN
Tahap Pelaksanaan terjadi
ketika seseorang menggunakan inovasi itu. Sebelum tahap ini, proses
keputusan-inovasi lebih banyak berupa tindakan mental. Namun tahap pelaksanaan
melibatkan perilaku tampak, karena ide baru itu betul-betul dipraktekan.
Konseptualisasi proses keputusan-inovasi dulu umumnya belum menyadari
pentingnya, bahkan adanya tahap pelaksanaan (Misalnya Rogers dan Shoemaker,
1971:98-133). Sering orang telah memutuskan untuk mengadopsi suatu gagasan
baru, tetapi tidak melaksanakannya. Masalah-masalah bagaimana cara tepat
menggunakan inovasi mungkin muncul pada tahap pelaksanaan. Pelaksanaan biasanya
merupakan kelanjutan langsung tahap tahap keputusan jika tidak di hambat
beberapa masalah logistik, misalnya kadang-kadang inovasi yang dimaksud tidak
tersedia.
Pada tahap
pelaksanaan tetap ada ketakpastian dalam kadar tertentu tentang konsekuensi
yang diharapkan seseorang, walaupun orang itu telah mengambil keputusan untuk
mengadopsinya. Pada saat pelaksanaan tiba, orang terutama ingin memperoleh
jawaban atas pertanyaan “Di mana aku bisa memperoleh inovasi?”, “bagaimana
aku harus menggunakannya?” dan “masalah-masalah teknis apakah yang akan
aku hadapi, dan dapatkah aku mengatasinya?”. Karena itu pada tahap ini
berlangsung usaha aktif untuk mencari informasi. Di sini peranan utama agen
pembaru adalah memberi bantuan teknis kepada binaan begitu mereka mulai
menjalankan inovasi itu.
Masalah-masalh
pelaksanaan mungkin lebih serius bila pengguna inovasi adalah organisasi. Dalam
suatu organisasi, biasanya hanya bebebrap orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusanan pelaksanaannya mungkin orang lain. Di samping itu, struktur
organisasi yang menjaga kestabilan dan kelangsungan suatu organisasi, bisa
menjadi kekuatan perintang pelaksanaan suatu inovasi. Pentingnya tahap
pelaksanaan belum sepenuhnya disadari sampai saat para sarjana mulai mengkaji
proses keputusan-inovasi dalam organisasi. Kami masih kekurangan kajian-kajian
yang memadai tentang tahap pelaksanaan untuk keputusan-inovasi individual/opsional.
Akhir Pelaksanaan
Kapankah tahap
pelaksanaan berakhir? Pelaksanaan itu biasa berlangsung dalam jangka yang
panjang, tergantung pada sifat inovasinya. Tetap akhirnya toh pasti sampai pada
suatu titik di mana ide-ide baru itu menjadi bagian yang melembaga dan menjadi
cara rutin pekerjaan penggunanya. Inovasi itu akhirnya kehilangan kualitas
pembedanya begitu penanda pemisah suatu ide baru (yakni kebaruan) itu
menghilang. Titik ini biasanya dianggap sebagai akhir tahap pelaksanaan dan
sering dipandang sebagai perutinan dan pelembagaan.
Mungkin juga
ada terminasi dalam proses keputusan-inovasi, setidak-tidaknya pada sebagian
orang. Tetapi sebagian yang lain mungkin melaksanakan proses keputusan-inovasi
sampai tahap kelima, yakni pengukuhan, sebagaimana kami jelaskan pada bagian
berikutnya nanti. Sekarang terlebih dulu kita akan membahas konsep reinvensi,
yang sering merupakan bagian penting tahap pelaksanaan.
REINVENSI
Sampai pada tahun-tahun terakhir ini kita berasumsi
bahwa peng-adopsian suatu inovasi itu semata-mata menyalin atau meniru persis
inovasi itu sebagaimana telah dipergunakan sebelumnya pada latar yang berbeda.
Kadang-kadang pengadopsian suatu inovasi memang menunjukkan tindakan yang
identik; misalnya, the California Fair
Trade Law of 1931 (Undang-undang perdagangan Kalifornia 1931),
undang-undang yang pertama untuk jenis ini, diadopsi oleh sepuluh negara bagian
lain komplit dengan tiga kesalahan cetak yang ada pada undang-undang itu (Walker, 1971). Betapapun,
pada banyak kasus suatu inovasi berubah dalam proses penyebarannya.
Apakah Reinvensi Itu?
Seperti kami kemukakan pada Bab 1, para sarjana
difusi sekarang mengenal konsep reinvensi, yang didefinisikan sebagai
seberapa jauh suatu inovasi diubah oleh pengguna dalam proses pengadopsiannya.
Sampai sekitar pertengahan tahun 1970an, reinvensi dianggap tidak ada, atau
jarang terjadi. Bila responden dalam suatu sigi difusi mengatakan tentang
reinvensi yang ia lakukan terhadap suatu ide baru, ini dianggap sebagai
tindakan yang tidak lazim, dan diperlakukan sebagai “gangguan” dalam penelitian
difusi. Para pengguna dianggap sebagai
penerima pasif suatu inovasi, bukannya pengubah dan pengadopsi aktif suatu ide
baru. Begitu para pakar difusi berubah anggapan bahwa reinvensi itu bisa
terjadi, mereka mulai menemukan bahwa hal itu sangat sering terjadi,
setidak-tidaknya pada inovasi-inovasi tertentu. Normalnya reinvensi tidak dapat
diselidiki sebelum para peneliti difusi menggali data pelaksanaan adopsi,
karena kebanyakan reinvensi terjadi pada tahap ini. Nyatanya penelitian
akhir-akhir ini banyak menemukan terjadinya reinvensi pada inovasi-inovasi
tertentu. Ini menunjukkan bahwa pada penelitian difusi yang lalu, karen
mengukur adopsi sebagai suatu pernyataan maksud untuk mengadopsi (pad atahap
keputusan), mungkin dalam beberapa kasus telah terkecoh penyataan seseorang
yang menyatakan mengadopsi padahal sebetulnya ia tidak dilaksanakan, atau dianggap
tidak mengadopsi padahal cara mengadopsinya berbeda (tidak seperti lazimnya
atau yang diharapkan). Kenyataan bahwa reinvensi bisa terjadi merupakan alasan
kuat agar peneliti mengukur pengadopsian pada tahap pelaksanaan sebagaimana
adanya: tindakan yang betul-betul dilakukan, bukan yang dimaksud akan
dilakukan.
Kebanyakan sarjan di masa lalu membedakan invensi
dengan adopsi inovasi. Invensi adalah proses penemuan atau penciptaan
suatu ide baru, sedangkan adopsi adalah keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya inovasi sebagai cara bertindak yang terbaik. Jadi, adopsi proses
penerimaan dan penggunaan gagasan yang ada. Namun perbedaan antara invensi dan
adopsi tidak begitu tegas bila kita mengakui bahwa suatu inovasi belum tentu
merupakan suatu yang fix (pasti, tidak bisa dirubah) begitu ia menyebar
ke dalam suatu sistem sosial. Dengan alasan inilah agaknya reinvensi merupakan
istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan pengubahan inovasi oleh pengguna
dalam proses pengadopsiannya.
Apakah Reinvensi Terjadi?
Perhatian pada reinvensi akhir-akhir ini muncul
karena lontaran gagasan oleh Charters dan Pellegrin (1972), yang merupakan sarjana
pertama yang mengenali adanya reinvensi (walaupun mereka tidak menggunakan
istilah ini). Kedua peniliti menjejaki pengadopsian dan pelaksanaan inovasi
kependidikan “differentiated staffing di empat sekolah selama satu
periode tahunan. Mereka menyimpulkan bahwa differentiated staffing itu
bagi kebanyakan guru dan administrator sekolah tak lebih sekedar istilah, tidak
ada ukuran kongkrit tentang perbedaan penampilan peran mereka … Istilah itu
dapat (dan sungguh) berarti hal-hal yng betul-betul berbeda bagi staf tertentu,
tetapi tidak berarti apa-apa bagi yang lain … Inovasi itu dienvansi di dalam,
tidak dilaksanakan dari luar". Kedua sarjana ini mencatat sejauh mana
perbedaan pembentukan inovasi itu pada keempat sekolah yang mereka kaji[5].
Bila penyeledikan dirancang
dengan konsep reinvensi di kepala, biasanya ditemukan reinvensi dalam kadar
tertentu. Misalnya, penelitian terdahulu tentang inovasi di organisasi telah
didasari asumsi bahwa suatu gagasan teknologis masuk suatu sistem dari
sumber-sumber luar dan kemudian diadopsi (dengan relatif sedikit adaptasi) dan
dilaksanakan sebagai bagian kegiatan yang berjalan dari organisasi itu.
Asumsinya adalah bahwa pengadopsian inovasi yang sama oleh orang atau
organisasi A akan sama dengan pengadopsian inovasi yang sama oleh oleh orang
atau organisasi B. penyeledikan akhir-akhir ini dengan serius mempertanyakan
asumsi ini. Misalnya:
q Suatu segi
nasional tentang sekolah-sekolah yang mengadopsi inovasi-inovasi yang
dipromosikan oleh jaringan Difusi Nasional, suatu sistem difusi terdesentralisasi,
menemukan bahwa 56% pengguna hanya melaksanakan aspek-aspek tertentu yang
dipilih) dari suatu inovasi; banyak reinvensi seperti dianggap relatif kecil,
padahal 20% saja dari pengadopsian sama dengan perubahan besar pada inovasi itu
(Emrick et al, 1977:116-119).
q Suatu
penyeledikan tentang 111 inovasi dalam bidang instrumen ilmiah oleh von Hippel
(1976) menemukan bahwa pada sekitar 80% kasus, proses inovasi dipengaruhi oleh
pengguna (yakni, pelanggan). Bahkan pengguna membangun suatu prototipa produk
baru itu, kemudian menyerahkannya ke pabrik. Maka “pengguna” memainkan peran
yang sangat penting dalam merancang dan merancang-ulang inovasi-inovasi indusri
ini.
q Dari 104
pengadopsian inovasi oleh lembaga-lembaga kesehatan mental yang dikaji di
Kalifornia, reinvensi terjadi agak lebih sering (55 kasus) dari pada pengadopsian
yang tidak mengubah (49) kasus.
q Suatu kajian
tentang pengadopsian suatu alat perencanaan dengan komputer (yang disebut
GBF/DIME) oleh lima puluh tiga badan pemerintah lokal, yang dipromosikan kepada
mereka oleh badan federal, diketemukan adanya reinvensi pada sekitar separoh
pengadopsian, walaupun sedikit (Eveland et al, 1977; Rogers et al, 1977a).
Berdasar
penyelidikan-penyelidikan ini dan beberapa kajian reinvensi lainnya akhir-akhir
ini[6] kami
mengemukakan rampatan 5-8: Reinvensi terjadi pada tahap pelaksanaan untuk
inovasi-inovasi tertentu dan pada para pengguna tertentu.
Reinvensi Belum Tentu Jelek
Apakah
reinvensi itu baik atau buruk tergantung pada pandangan seseorang. Reinvensi
umumnya tidak mendapat banyak perhatian positif dari lembaga-lembaga litbang,
yang mungkin menganggap reinvensi sebagai perusakan terhadap produk penelitian
asli mereka. Memang, beberapa perancang membuat inovasi sedemikian rupa sehingga
sulit direinvansi; mereka merasa bahwa “anti re-invensi” merupakan cara yang
baik untuk menjaga kualitas inovasi mereka. Lembaga-lembaga difusi mungkin juga
tidak suka reinvensi karena merasa bahwa mereka mengetahui bentuk inovasi
terbaik yang harus diadopsi pengguna. Juga, para agen pembaru sering mengalami
kesulitan mengukur penampilan (hasil kerja) mereka bila sesuatu inovasi
berubah. Ukuran yang biasa mereka pakai-kecepatan adopsi suatu inovasi dapat
menjadi kacau jika tingkat reinvensinya tinggi.
Dilain pihak
para para pengguna umumnya beranggapan bahwa reinvensi itu baik. Mereka
cenderung menekankan bahkan terlalu menekankan banyaknya reinvensi yang telah
mereka lakukan (Rice and Rogers, 1980). Pilihan-pilihan yang tersedia bagi
calon pengguna tidak hanya sekedar mengadopsi atau menolak, melainkan juga
pilihan untuk mengubah atau menolak secara selektif beberapa komponen inovasi.
Beberapa masalah pelaksanaan adopsi yang dihadapi seseorang atau organisasi
tidak dapat diperkirakan sifatnya, sehingga perubahan-perubahan tadinya
dirancang sebagai akibat inovasi seringkali tidak terjadi.
Reinvansi
dapat menguntungkan pengguna suatu inovasi. Keluwesan proses pengadopsian suatu
inovasi dapat mengurangi kesalahan, dan mendorong pembiasaan inovasi itu sehingga
cocok dengan kondisi-kondisi setempat dan atau kondisi yang berubah. Sebagai
akibat reinvensi, suatu inovasi bisa lebih tepat untuk mengatasi masalah-masalah
baru yang muncul selama proses keputusan inovasi. Tidaklah mengherankan, suatu
sigi tentang inovasi di sekolah-sekolah negeri menemukan bahwa ketika suatu
inovasi kependididkan direinvensi oleh suatu sekolah, pengadopsiannya cenderung
lebih langgeng (Berman and Pauly, 1975). Penghentian (diskontinuansi)
jarang terjadi karena inovasi-inovasi yang direinvensi lebih cocok dengan
situasi sekolah. Penyeledikan ini mengungkap bahwa terjadi suatu tingkat
reinvensi yang agak tinggi; inovasi-inovasi dan sekolah terikat dalam suatu
bentuk interaksi yang saling berpengaruh, karena ide baru itu dan sekolah beradaptasi
satu sama lain (Berman dan McLaughlin, 1974, 1975, 1978; Berman et al,
1975,1977). Biasanya sekolah tidak banyak berubah, dan inovasi sangat banyak
berubah[7].
Orang-orang
dan organisasi menjalani proses keputusan-inovasi mengenai inovasi yang sama, mempunyai
kebutuhan, masalah dan situasi yang sangat berbeda. Perbedaan-perbedan ini
membentuk inovasi yang dilaksanakan secara nyata, walaupun masih disebut dengan
nama “induk”nya. Kenya-taannya, banyak unsur inovasi induk itu yang diadopsi
banyak orang, sementara dalam beberapa hal yang penting berangkat dari model
aslinya[8].
Mengapa Terjadi
Reinvensi?
Terjadinya reinvensi sebagian karena alasan-alasan
yang ada pada inovasi sendiri, dan sebagian lagi karena alasan yang bersumber
pada orang-orang atau organisasi atau organisasi penggunanya.
1. Inovasi-inovasi
yang relatif lebih rumit dan sulit dipahami lebih cenderung direinvensi (Larsen
dan Agarwala Rogers, 1977a, 1977b).
2. Reinvensi
dapat terjadi karena pengguna kekurangan pengetahuan rinci mengenai inovasi,
misalnya ketika relatif hanya ada sedikit kontak antara orang itu dengan agen
pembaru atau para pengguna yang lebih dulu (Rogers et al, 19771;Eveland et al,
1977; Larsen dan Argawal Rogers, 1977a:38).
3. Inovasi yang
berupa konsep umum atau yang berupa alat (misalnya komputer) yang banyak
kemungkinan aplikasinya, lebih cenderung direinvensi (Rogers, 1978). Unsur-unsur yang membentuk
suatu inovasi bisa berupa unsur-unsur yang membentuk suatu inovasi biasa
terikat dalam bundel / paket ketat atau longar {koontz, 1976). Inovasi
bundel-bundel ketat terdiri dari kumpulan komponen yang sangat saling
bergantung; sulit mengadopsi satu unsurnya saling mengadopsi unsur-unsur yang
lain. Sedang inovasi bundel terdiri dari unsur-unsur yang tidak saling berkaitan
;inovasi seperti ini oleh pengguna dapat dengan luwes di cocokan dengan kondisi
mereka. Dengan demikian perancang atau pembuat inovasi dapat mempengaruhi
tingkat reinvensi dengan memudahkan atau menyulitkan reinvesinya(von Hippel dan
Finkelkestein, 1979).
4. Kemungkinan
terjadi reinvensi lebih besar bila suatu inovasi dipakai untuk memecahkan suatu
masalah pengguna yang berentang luas. Salah satu alasan pokok tindakan
reinvensi adalah karena seseorang atau organisasi mencocokkan inovasi itu
dengan masalah yang berbeda satu sama lain. Masalah yang tadinya mendorong seseorang
mencari suatu inovasi ikut menentukan bagaimana inovasi itu akan dipergunakan.
Dapat diharap tingkat kecenderungan reinvensi suatu inovasi lebih besar apabila
masalah individu atau organisasi yang dipecahkan dengan inovasi itu sangat
beragam.
5. Kebanggaan
lokal terhadap pemilikan suatu inovasi bisa juga merupakan penyebab terjadinya
reinvensi. Di sini inovasi diubah sedikit, mungkin sekedar dipulas sehingga
tampaknya merupakan keluaran lokal. Dalam beberapa kasus reinvensi semu macam
in, bisa jadi inovasi hanya diberi nama baru, tanpa ada perubahan penting. Penokalan
inovasi seperti itu mungkin sebagai penyesuainya terdorong oleh suatu keinginan
untuk mendapat status, atau keinginan agar inovasi itu lebih dapat diterima
oleh sistem setempat. Sering, ketika ditanya mereka menjawab: ini buat-an orang
setempat (lokal)”, seperti ditemukan Haverlock (1974) dalam suatu sigi terhadap
353 penilik sekolah di AS. Barangkali, seperti dikemukakan Prof. Nathan Calan
dari Universiats Michigan,
“inovasi mirip dengan sikat gigi; orang tidak mau meminjam kepunyaan orang
lain. Mereka ingin punya kepunyaan sendiri. Atau setidak-tidaknya mereka ingin
memberi “cap” mereka pada inovasi dasar, sehingga tampak berbeda dengan pengadopsian
orang inovasi itu oleh orang lain. Dari sini tampak dua kebutuhan psikologis
yang kuat untuk melakukan reinvensi. Suatu ilustrasi dapat diambil dari difusi
komputer pada pemerintah lokal di Amerika serikat. Selama tahun 1970an ada
perluasan besar-besaran penggunaan komputer untuk pemrosesan data oleh
pemerintah kota
dan kecamatan. Lembaga-lembaga pemerintah segera membelanjakan lebih sejuta
dolar pertahun untuk peralatan komputer dan program-program-nya untuk
mengerjakan tugas pengolahan data seperti menghitung, menyimpan data dsb. Suatu
penyelidikan oleh Danziger (1977) tentang bagaimana dua belas kota dan kecamatan mengadopsi inovasi
pengolah data dengan komputer itu menemukan tingkat re-invensi yang sangat mengejutkan.
Salah satu alasan reinvensi itu adalah bahwa para pemrogram komputer yang
bekerja di pemerintah lokal memandang perubahan inovasi yang terpaket seperti
itu sebagai pekerjaan yang menantang dan kreatif. Lebih senang mereinvensi
suatu program komputer hanya daripada sekedar menyalin dari pemerintah lokal
lainnya atau membelinya dari penyalur komersil, yang dipandang sebagai tidak merangsang
dan sangat membosankan. Lebih jauh, danziger menemukan bahwa pegawai pemerintah
menganggap penting reinvensi itu untuk menunjukkan keunikan mereka dalam
pengadopsian inovasi. Kebanggaan mereka untuk bereinvensi ini merupakan contoh
oleh Freud disebut: kecintaan diri sendiri untuk berbeda dengan orang lain”. Relatif
kecilnya “cap” yang mereka tempel, sebagai bentuk reinvensi, bagi mereka tampak
sebagai kemajuan besar.
6. Akhirnya,
reinvensi bisa terjadi karena lembaga pembaruan mempengaruhi binaannya untuk
mengubah atau menyesuaikan suatu inovasi. Seperti kita bahas sebelumnya,
lembaga pembaruan umumnya menentang reinvensi. Namun lembaga-lembaga pembaruan
yang terdesentralisasi mungkin justru mendorong binaannya agar reinvensi
ide-ide baru.
Pengenalan
adanya reinvensi mengarahkan pada pandangan yang berbeda tentang perilaku
adopsi; disamping sekedar penerimaan atau penolakan, calon pengguna bisa
merupakan partisipan aktif dalam proses pengadopsian dan penyebarannya,
berjuang memberi makna pada informasi baru itu begitu inovasi itu diterapkan
pada konteks mereka sendiri. Konsepsi perilaku adopsi seperti ini, termasuk
didalamnya reinvensi, lebih sejalan dengan apa yang sebagian responden telah
pernah disampaikan kepada para peneliti pada penelitian difusi beberapa tahun
yang lalu, tetapi kurang mendapat perhatian.
PEMBAJAKAN
KAPAL UDARA : REINVENSI DIANGKASA[9]
Pembajakan pesawat udara
merupakan kasus yang luar biasa dan menarik tentang reinvensi yang
berkelanjutan. Pembajakan udara yang pertama terjadi di Peru pada 1930
; inilah invensi asli. Tetapi pembajakan pesawat udara betul-betul mulai
menyebar pada awal 1968, dengan banjir pembajakan ke Kuba (Gambar 5-2). Selama
putaran pertama pembajakan selama dua setengah tahun berikutnya.media massa menguraikan setiap
peristiwa serinci-rincinya, sehingga memungkinkan para pembajak berikutnya
memperoleh pelajaran yang berharga dari nilai sebelumnya. Sekitar 80% dari 70
pembajakan (terdiri antara tahun 1968-1970) telah berhasil, walaupun lembaga
penerbangan federal (federal Aviation Agency= FAA) melakukan tindak balasan
untuk mencegah pembajakan dengan cara : memeriksa semua penumpang sebelum
mereka masuk pesawat, membuat dan menyebar profil pembajak, memberi hukuman
berat pembajak, dsb. Antar pembajak tidak mungkin ada komunikasi langsung,
namun mereka berterima kasih kepada media massa
yang memuat setiap peristiwa pembajakan, sehingga mereka bisa mempelajari
teknik pembajakan yang gagal dan yang berhasil. Dan begitu suatu tindak balasan
FAA berhasil merintangi suatu teknik pembajakan, teknik baru direinvensi.
Mula pembajakan di AS kebanyakan
menerbangkan pesawat ke Kuba,yang pada saat itu menjadi surga bagi kaum sosialis,
dan bagi para pembajak di sebut pahlawan Havana.
Namun era pertama pembajakan bermotif politik ini berakhir, dengan kembalinya
secara suka rela enam pembajak dari pembajak untuk menerima hukuman penjara di
AS (pitcher et al 1978). Mereka mengeluh pembedaan rasial dan perlakuan tak
layak lainnya di Kuba.
Mulai pertengahan tahun 1970an putaran kedua
pembajakan berlangsung di mana para pembajak menuntut uang tebusan untuk
keselamatan penumpang . Usaha meminta uang tebusan yang pertama sangat berhasil
,
Dan si
pembajak D.B. Coope, yang diterjun payungkan dengan uang tebusan $200.000 ke
daerah terpencil menjadi terkenal. Peristiwa pemerasan ini mendorong FAA dan
industri penerbangan memulai tindakan balasan baru, sehingga pembajakan semakin
sulit berhasi, dan selama putaran kedua tingkat ini tingkat keberhasilan
pembajakan turun sampai 66% (Gambar 5-2). Pemerintah
AS mempelajari berbagai cara
pembekukan pembajak.
Peranan media massa dalam membantu para pembajak belajar
dari perompak udara sebelumnya barangkali diperlihatkan dengan baik oleh acara
televisi, Doomsday light. Drama ini menggambarkan seorang pembajak yang
mengacam petugas penerbangan bahwa sebuah bom peka tenanan akan meleedak begitu
pesawat turun sampi tingkat ketinggian tertentu pada waktu mendarat. Setelah
acara ini disiarkan, ancaman-ancaman lewat telepon mempola, begitu pula setelah
acara ini disiar-ulangkan. Setelah pertunjukan DoomsDay Flight di televisi Montreal, seorang pemeras
menggunakan ancaman bom untuk menuntut seperempat milyar dolar dari sebuah
pesawat terbang; dia katakan telah menaruh sebuah bom yang akan meledak bila
pesawat mencapai ketinggian 5.000 kaki. tetapi si pembajak digagalkan ketika
perusahaan penerbangan membelokkan pesawat mereka dan mendarat di bandara udara
denver
(berketinggian 5.393 kaki). Peristiwa-peristiwa lain ancaman bom peka
ketinggian juga terjadi, biasanya segera setelah acara Doomsday Flight.
Selama putaran ketiga
pembajakan, pada akhir 1971 dan 1972, FAA memperoleh keunggulan nyata dalam
menghadapi setiap arus baru teknik pembajakan yang direinvensi, dan tingkat
keberhasilan pembajakan merosot sampai hanya 29% (Hamblin dkk, 1973:125). Hal
ini dikarenakan media massa
dengan sukarela sepakat tidak menyiarkan rincian teknik pembajakan. Para
psikiatriwan yang mengkaji para pembajak menemukan bahwa kemasyhuran (karena
tindak kejahatan) merupakan salah satu motivasi utama mereka, maka media massa menyetop penyiaran
nama-nama pembajak udara. Begitu keinginan publikasi nasional tertutup, tingkat
usaha pembajakan menurun
TAHAP KONFIRMASI
Buku empirik yang diberikan beberapa peneliti*
menunjukkan bahwa suatu keputusan untuk mengadopsi atau menolak seringkali
bukan tahap akhir proses keputusan-inovasi. Misalnya, Mason (1962a) menemukan
bahwa para responden-nya, petani Oregon,
masih mencari informasi setelah mereka memutuskan untuk mengadopsi sebagaimana
sebelumnya. Pada tahap pengukuhan, orang mencari penguat (reinforcement)
bagi keputusan-inovasi yang telah dibuatnya, tetapi mungkin dia mengubah keputusan
itu bila mendapatkan pesan-pesan yang bertentangan mengenai inovasi itu. Tahap
pengukuhan berlangsung dalam jangka waktu tak terbatas setelah keputusan untuk
mengadopsi atau menolak (Gambar5-1). Sepanjang tahap ini orang berusaha
menghindari keadaan disonansi atau menguranginya bila terjadi.
Disonansi
Perubahan perilaku manusia sebagian timbul karena
dorongan suatu kondisi di dalam diri yang tidak seimbang atau disonan, suatu
keadaan jiwa yang tidak enak, sehingga orang berusaha untuk mengurangi atau
menghilangkannya. Ketika orang merasakan keadaan disonan, biasanya dia
terdorong untuk menguranginya dengan jalan mengubah pengetahuan, sikap, atau
tindakan-tindakannya. Dalam kasus perilaku inovatif, pengurangan disonan
terjadi ketika :
1. Orang merasakan
suatu kebutuhan atau menghadapai masalah, maka ia mencari informasi tentang
beberapa cara/alat, misalnya inovasi, untuk memenuhi kebutuhan itu. Kesadaran
orang akan kebutuhan terhadap inovasi dapat memotivasi kegiatan pencarian
informasi mengenai inovasi. Ini terjadi terutama pada tahap pengenalan dalam
prose keputusan-inovasi.
2. Orang
mengetahui suatu ide baru dan berkenan terhadapnya, tetapi belum mengadopsinya.
Kemudian ia terdorong untuk mengadopsi inovasi itu untuk mengurangi atau
menghilangkan disonasi antara apa yang ia percaya dengan yang ia lakukan.
Perilaku ini terjadi pada tahap keputusan dan tahap pelaksanaan dalam proses
keputusan-inovasi.
3. Orang
mendapatkan informasi yang mempengaruhinya untuk mestinya tidak mengadopsi,
setelah ia memutuskan untuk mengadopsi inovasi dan melaksanakannya. Disonansi
seperti ini mungkin bisa dikurangi dengan menghentikan penggunaan inovasi (discontinuation).
Atau, bila disonan itu terjadi karena tadinya ia menolak kemudian ia mendapat
inovasi yang pro-inovasi, ia dapat mengurangi dengan jalan mengadopsi inovasi.
Perilaku seperti ini (penghentian atau adopsi terlambat) terjadi selama tahap
pengukuhan dalam proses keputusan-inovasi
Ketiga cara
penguruangan disonansi ini berupa tingkah laku sehingga sikap dan tindakan
sejalan. Tetapi seringkali tidak mudah mengubah keputusan (penolakan atau
pengadopsian) yang telah dibuat; tindakan yang dilakukan cenderung merupakan
usaha pemantapan keputusan semula. Karena itu orang sering berusaha menghindari
disonan dengan jalan hanya mencari informasi-informasi yang mereka harapkan mendukung
atau menguatkan keputusan yang telah dibuat. Inilah contoh selective exsposure[10]
. Selama tahap pengukuhan orang menginginkan pesan-pesan yang pendukung yang
dapat mencegah disonansi, tetapi mungkin ada beberapa informasi yang tak terhindarkan
sampai kepada orang itu, sehingga ia mempertanyakan kembali keputusan
menerima/menolak yang telah ia buat.
Pada tahap
pengukuhan, agen pembaru mempunyai peran yang sangat penting. Di masa lalu,
para agen pembaru biasanya hanya tertarik pada usaha bagaimana agar orang
mengambil keputusan mengadopsi inovasi, padahal sebetulnya ia punya tambahan
tanggung jawab pada tahap pengukuhan, yakni memberi pesan-pesan penguat kepada
para pengguna inovasi. Barang kali salah satu alasan relatif tingginya penghentian
beberapa inovasi adalah karena agen pembaru beranggapan bahwa bila telah mengadopsi
orang akan terus mengadopsi. Namun kenyataannya tanpa usaha yang terus menerus
tidak ada jaminan tak terjadi penghentian, sebab pesan–pesan negatif mengenai
suatu inovasi ada dikebanyakan lingkungan pengguna. Misalnya kecepatan adopsi
inovasi KB telah “mendatar” dan menurun pada beberapa bangsa Asia,
karena adanya rumor mengenai akibat samping alat-alat kontrasepsi ini.
Pesan-pesan negatif seperti itu pada tahap pengukuhan proses keputusan inovasi
dapat menyebabkan diskontinuansi (penghentian penggunaan inovasi).
Diskontinuansi
Diskontinuansi adalah keputusan untuk menolak
(menghentikan penggunaan) suatu inovasi setelah tadinya mengadopsinya. Agak
mengherankan bahwa telah diketemukan tingkat diskontinuansi yang tinggi pada
beberapa inovasi. Leuthold (1967:106) menyimpulkan dari kajiannya terhadap
suatu sampel petani Wisconsin bahwa tingkat
diskontinuansi sama pentingnya dengan kecepatan adopsi dalam menentukan level
pengadopsian suatu inovasi dalam kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, untuk
suatu tahun tertentu ada orang-orang yang menghentikan penggunaan inovasi
sebanyak jumlah pengguna awal. Akibatnya, agen pembaru harus menaruh perhatian
pada pencegahan diskontinuansi inovasi itu.
Ada dua macam
diskontinuansi (1) diskontinuansi pergantian, dan (2) diskontinuansi kecewa. Diskontinuansi
pergantian adalah keputusan untuk menolak (berhenti menggunakan) suatu ide
baru karena ganti mengadopsi ide baru yang lebih baik. Di banyak bidang,
inovasi seperti gelombang laut, susul menyusul. Suatu ide baru menggantikan
praktek-praktek yang ada, yang tadinya juga inovasi. Gambar 5-3 menunjukkan
bagaiman pengadopsiannya gammanym menyebabkan diskontinuansi dua jenis
obat-obatan lainnya. Kalkukator menggantikan mesin hitung tangan. Dan banyak
lagi contoh diskontinuansi-pergantian dalam kehidupan sehari-hari.
Diskontinuansi
kecewa
adalah keputusan untuk berhenti menggunakan inovasi akibat tidak puas dengan
hasil-hasilnya. Ketidak-puasan ini bisa muncul karena inovasi akibat tidak
cocok dan tidak memberi keuntungan relatif yang diharapkan lebih baik daripada
praktek sebelumnya. Atau karena lembaga pemerintah telah memperingatkan bahwa inovasi
itu tidak lagi aman dan/atau inovasi itu punya efek samping yang membahayakan
kesehatan. Atau diskontinuansi kecewa itu terjadi karena penggunaan yang salah
(tidak tepat) sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan menguntungkan.
Tipe diskontinuansi kecewa yang terakhir ini banyak terjadi pada pengguna akhir
daripada pengguna awal. Karena pengguna-awal umumnya lebih berpendidikan dan
penguasaan metode ilmiahnya lebih tinggi, mereka mengetahui bagaimana merampatkan
hasil-hasi percobaan pada penggunaan inovasi dalam skala luas. Para pengguna-akhir sumber-sumbernya lebih kecil,
sehingga mereka tidak dapat/mampu mengadopsi inovasi atau berhenti
menggunakannya karena posisi keuangan mereka tidak memungkinkan (terbatas).
Pemikiran
ini sejalan dengan temuan Johnson dan van den ban (1959), Leuthold (1965,
1967), Bishop dan Coughenour (1964), Silverman dan Bailey ( 1961), dan
Deutchman dan Havens (1965), yang mendukung rampatan 5-9: Pengguna akhir lebih
cenderung menghentikan penggunaan inovasi dibanding dengan pengguna-awal.
Para peneliti
terdahulu menduga bahwa para pengguna-akhir itu relatih kurang inovatif karena
mereka tidak mengdopsi atau lebih lamban dalam mengadopsi inovasi. Tetapi
bukti-bukti mengenai diskontinuasi menunjukkan bahwa banyak diantara
orang-orang “kolot” itu mengadopsi tapi kemudian berhenti, biasanya karena
kecewa. Misalnya, Bishop Coughenour (1964) melaporkan bahwa diskontinuasi para
petani Ohio berurut mulai dari 14 % pada kelompok inovator dan pemuka, 27% pada
mayoritas awal, 34% pada mayoritas akhir, dan 40% si kolot. Leuthod (1965)
melaporkan jumlah yang sebanding, yakni 18%, 26%, dan 37% pada petani Kanada.
Beberapa peneliti telah mengidentifikasi sifat-sifat orang yang tinggi dan
rendah tingkat diskontinuansinya. Umumnya, mereka yang berhenti itu
pendidikannya kurang, status sosial Ekonominya rendah, kurang berhubungan
dengan agen pembaru, dsb. Yang berkebalikan dengan sifat-sifat inovator. Orang
yang tidak melanjutkan inovasi karakteristiknya sama dengan si kolot(laggard),
yang tingkat kontinuansinya sangat tinggi.
Diskontinuansi suatu inovasi adalah salah satu
penanda bahwa ide itu tidak sepenuhnya melembaga dan merutin pada praktek yang
sedang berlangsung dan cara hidup pengguna pada tahap pelaksanaan. Perutinan
seperti itu jarang sekali (yang sering diskontinuansi) bila inovasi kurang
sesuai dengan kepercayaaan dan pengalaman seseorang. Barangkali (1) ada
perbedaan tingkat diskontinuansi inovasi satu dengan yang lain, sebagaimana ada
perbedaan kecepatan adopsi, dan (2) sifat-sifat inovasi dalam persepsi pengguna
(misalnya keuntungan relatif dan kesusaian) berkorelasi negatif dengan tingkat
diskontinuansinya. Misalnya dapat diduga suatu inovasi yang keuntungannya
relatifnya rendah kecepatan adopsinya rendah dan tingkat diskontinuansinya
tinggi. Sedangkan inovasi-inovasi yang tinggi kecepatan adopsinya, rendah tingkat
diskontinuansinya. Penemuan Caughenour (1959), dan Leuthold (1965) mendukung
rampatan 5-10: inovasi yang tinggi kecepatan adopsinya, rendah tingkat diskontinuansinya.
Diskontikontinuansi
terpakasa
Suatu tipe
diskontinuansi unik dan secara teoritik menarik telah terjadi beberapa tahun
yang lalu adalah larangan penggunaan inovasi-inovasi tertentu oleh
lembaga-lembaga perundang-undangan federal, terutama dinas pengawasan makanan
dan obat-obatan (the food and Drug Administration). Diskontinuansi yang
dipaksakan seperti itu sering sekali merupakan hasil-hasil penelitian yang
menunjukan bawah suatu inovasi kimiawi mungkin bisa menyebabkan kanker atau
ancaman lain terhadap kesehatan konsumen .
Pada 1954,
kajian disertai Ph.D saya, saya mengumpulkan data dari 148 petani dimasyarakat
tani di lowa mengenai pengadopsian mereka terhadap inovasi pertanian seperti
obat semprot pembasmi rumput 2.4 D makanan-tmbahan babi, anti biotik, DES untuk
makanan ternak , dan pupuk kimia . Inovasi-inovasi kimiawi ini merupakan arus
teknogi pertanian paska perang dunia II yang disebar oleh para ilmuan pertanian
di universitas lowo dan dinas penyuluan lowa kepada para petani. Dampak
inovasi-inovasi merupakan suatu “revolusi pertanian?” dalam produksi pertanian
selama tahun 1950an dan 1960an, sehingga salah satu masalah penting pertanian
AS adalah berlebihnya hasil panenan yang menumpuk di gudang-gudang pemerintah.
Pada 1954,
seperti kebanyakan penyelidik difusi, saya menerima anjuran para ilmuwan
pertanian bahwa inovasi-inovasi kimiawi ini baik dan benar. Namun demikian saya
ingat, saya seorang petani telah menolak semua bahan kimia pertanian itu
karena, katanya obat-obatan itu membunuh cacing tanah dan burung pipit
ladangnya. Pada saat itu, saya pribadi menganggap sikap petani itu tidak
rasional; tentu saja perilaku bertaninya saya masukkan dalam golongan
“tradisional” dalam ukuran keinovatifan saya (yang mencangkup pengadopsian
selusin atau lebih inovasi pertanian yang dianjurkan para ahli).
Beberapa tahun
berikutnya, ketika saya membaca buku Rachel Carson (1962), Silent Spring,
saya menganggap alasan anti obat-obatan kimianya sebagi exstrim dan absurd.
Saya setuju dengan teman saya ahli agronomi yang menyebut Carson sebagai “wanita yang sangat berbahaya
dan salah, yang merupakan ancaman bagi kemajuan pertanian Amerika”.
Tetapi
munculnya gerakan lingkungan hidup di AS pada tahun 1960an dan hasil-hasil
penelitian tertentu tentang akibat jangka panjang obat-obatan pertanian mulai
membuat saya heran. Pada tahun 1972, Lembaga Pelestarian Lingkungan AS melarang
menggunakan DDT sebagai suatu insektisida karena mengancam kesehatan manusia
(Dulap,1981). Tahun berikutnya, DES dilarang untuk makanan ternak, begitu juga
untuk antibiotik tambahan makanan babi, dan obat pembasmi rumput 2.4 D.
Konsentrasi obat-obatan itu telah diketemukan dalam meningkatnya biomagnifikasi
pada tanaman, sampai mencapai tingkat yang membayakan kesehatan manusia.
Meningkatnya
proposi konsumen AS yang suka membeli makanan yang yang ditanam secara alami
(tanpa pupuk kimia) dengan harga tinggi, mempolakan munculnya toko-toko makanan
sehat. Seiring dengan itu, jumlah petani dan peladang alami meningkat, sebagai
akibat tumbuhnya ketidakpercayaan terhadap akibat pestisida dan pupuk kimia.
Pada tahun 1980, diperkirakan 30.000 petani AS (sekitar 1% dari seluruh petani)
memandang dirinya “petani alami”. Mereka memetik panen lebih sedikit daripada
“petani kimia”, tetapi biaya produksi yang mereka keluarkan juga lebih rendah
(sebagian karena tidak menggunakan pupuk dan pestisida yang harganya naik, mengikuti
kenaikan harga minyak), dan mereka umumnya dapat mempertahankan harga tinggi
panenan merkea di toko-toko makanan sehat alamiah.
Pada tahun
1980, Departemen Pertanian AS (US Department of Agriculture=USDA) mengubah
kebijakannya yang menentang pertanian organik (tidak menggunakan bahan-bahan
kimia), dan mulai menganjurkan petani dan peladang untuk mempertimbangkan metode-metode
alternatif produksi yang menggunakan kimia lebih sedikit (*Kebijakan “murtad”
ini dimulai oleh Rob Berglund, sekretaris USDA, sebagai akibat hubungannya
dengan teman petaninya di Minnesto yang mengerjakan 1.500 acre ladangnya secara
organik. Berglund memerintahkan suatu pengkajian terhadap para petani organik
di AS, yang bertetangga dengan para “petani kimia”, yang berada pada jenis
tanah yang sama dan memproduksi tanaman yang sama. Hasil kajian ini membantu
menyakinkan USDA untuk mengubah kebijakan anti organik sebelumnya). USDA juga
mulai mengadakan program penelitian untuk mengembangkan jenis-jenis bibit yang
tepat untuk pertanian dan peladang organik (USDA, 1980). Sigi terhadap para
petani organik menunjukkan bahwa kebanyakan mereka bukanlah “hippies”, juga
bukan tradisionalis yang rendah pendidikannya; ternyata, sebagian besar petani
organik adalah para operator komersial yang umumnya bercirikan petani maju
(berpendidikan diatas rerata, ladangnya luas, dsb). Namun demikian, kebanyakan
petani organik itu saat ini dipandang para tetangganya sebagai penyimpang dari
praktek-praktek pertanian konvensional (Lockert et al, 1981; Lockert dan Wennick,
1980).
Selama
beberapa tahun menjelang perubahan kebijaksanaan tahun 1980, USDA menyadari
bahwa pestisida kimia telah dipergunakan berlebihan oleh kebanyakan petani,dan
karena itu telah melancarkan program yang dinamakan “penggunaan pestisida
terpadu” (integreted pesticide management = IPM). Faktor pokok yang mendorong
dimulainya program IPM adalah kenyataan bahwa lebih dari 400 jenis serangga
(insect) telah kebal terhadap pestisida yang ada, seiring terhadap masalah
konsumen sebagai akibat biomagnifikasi melalui makanan. IPM merupakan panduan
secara cermat ladang para petani, biasanya dilakukan oleh para pemandu terlatih
yang menasehati petani kapan masalah pestisida meningkat keambang batas
ekonomi, dan kapan peyemprotan dengan pestisida dibenarkan. Para
petani yang mengadopsi IPM biasanya menyatakan terjadi penghematan penting
karena menurunnya jumlah penggunaan pestisida. Beberapa petani besar bisa
menghemat ribuan dolar.
Kembali kepada
kisah penyeledikan difusi saya di Iowa
tahun 194, petani organik yang saya wawancarai tentunya telah habis-habisan
menertawakan para ahli pertanian. Prosedur penilaian saya yang menggolongkanya
sebagai seorang kolot pada tahun 1954, menurut ukuran sekarang sebetulnya
adalah seorang inovator dalam pertanian organik.
Adanya
beberapa diskontinuansi paksaan berkenaan dengan berbagai inovasi kimia pada
tahun-tahun terakhir ini, yang disebabkan karena peraturan lembaga-lembaga
Federal seperti Dinas Pengawasan Makanan dan Obat-obatan itu, menunjukkan
adanya beberapa isu penting bagi penilitian difusi :
1. Apakah efek
suatu diskontinuansi yang dipaksakan itu terhadap kredibilitas lembaga-lembaga
difusi, misalnya Dinas Penyuluhan Pertanian, yang tadinya mempromosikan inovasi
yang sekarang dilarang.
2. Apakah suatu
diskontinuansi dipaksakan itu menyebabkan mereka para diskontinuan itu hilang
kepercayaannya hilang terhadap ilmu pengetahuan dan penelitian ?.
3. Peran apakah
yang dimainkan pemaksaan diskontinuansi itu di dalam mendorong pengadopsian
inovasi-inovasi alternaif ?.
Walaupun kami
telah menggunakan inovasi-inovasi kimia pertanian dalam bagian ini untuk
menguraikan diskontinuansi yang dipaksakan, dan kami telah membahas dampak
diskontinuansi itu pada perilaku petani, tak diragukan bahwa ada efek tertentu
pada konsumen makanan. Misalnya, apakah munculnya konsumsi makanan alami sebagi
dampak alami sebagian karena masalah kesehatan konsumen yang telah diketemukan
berkaitan dengan DDT, 2.4D, DES, dan obat-obatan pertanian lainnya?.
Kerentanan
teknologis inovasi-inovasi bukan pertanian tertentu juga telah ditunjukkan oleh
peristiwa-peristiwa beberapa tahun belakangan ini pemberian sacharin (bubuk
pemanis) pada minuman ringan, ditariknya kembali dari peredaran sejumlah
kendaraan, ban, dan produk-produk konsumsi lainnya. Apakah sesungguhnya akibat
diskontinuansi dipaksakan ini pada jiwa masyarakat?.