Jumat, 22 November 2013




PROSES KEPUTUSAN INOVASI

PROSES KEPUTUSAN INOVASI adalah proses yang dijalani seseorang (atau unit pengambil keputusan lainnya) mulai dari kenal suatu inovasi, kemudian menyikapinya lalu mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak-nya, melaksanakan keputusan, sampai dengan pengukuhan keputusan tersebut. Proses ini terdiri dari serangkaian tindakan dan pemilihan yang dilakukan seseorang atau organisasi untuk menilai suatu gagasan baru dan memutuskan apakah akan memasukkan ide baru itu ke dalam kegiatan yang sedang dan atau sudah berlangsung. Tindakan ini berkenaan terutama dengan ketidakpastian yang mau tak mau ada dalam pemutusan suatu alternatif baru. Kebaruan yang terlihat pada inovasi ini dan ketidakpastian yang melekat pada kebaruan itu, merupakan aspek pembeda pembuatan kepastian inovasi (dibandingkan dengan tipe-tipe keputusan lainnya).
                Bab ini bermaksud menguraikan suatu model proses keputusan inovasi, yang terdiri dari lima tahap, dan merangkum bukti-bukti bahwa tahap-tahap ini ada. Perhatian utama kami di bagian ini adalah terhadap keputusan inovasi opsional yang dibuat seseorang. Namun demikan bahasan ini dapat dijadikan dasar pembahasan kita tentang proses keputusan inovasi dalam organisasi.

SUATU MODEL PROSES KEPUTUSAN INOVASI

                Para pakar difusi telah lama tahu bahwa keputusan seseorang tentang sesuatu inovasi bukanlah merupakan tindakan yang terjadi seketika. Melainkan, merupakan suatu proses yang terjadi dalam suatu rentang waktu dan terdiri dari serangkaian tindakan. Bagaimanakah sebetulnya urutan tahap-tahap proses pembuatan keputusan inovasi itu?.
                Model baru kami tentang keputusan-inovasi terpampang pada gambar 5-1. Pada model ini proses terdiri dari lima tahap :
1.       Pengenalan yang terjadi ketika seseorang (atau unit pembuat keputusan lainnya) dihadapkan pada keberadaan suatu inovasi dan memahami bagaimana inovasi itu berfungsi.
2.       Persuasi terjadi ketika seseorang membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi.
3.       Keputusan terjadi ketika seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada suatu penentuan untuk menerima atau menolak inovasi.
4.       Pelaksanaan yang terjadi ketika seseorang menggunakan inovasi itu.
5.       Konfirmasi yang terjadi ketika seseorang mencari penguat terhadap keputusan –inovasi yang telah dibuat sebelumnya, tetapi bisa jadi ia merubah keputusannya apabila dihadapkan pada pesan-pesan yang bertentangan.


Proses keputusan-inovasi adalah proses yang dijalani seseorang (atau unit pembuat keputusan) mulai dari pengenalan terhadap suatu inovasi, membentuk sikap, memutuskan untuk menggunakan atau menolak, melaksanakan penggunaan ide baru itu, dan mengukuhkan keputusan itu. Untuk sederhananya, kami tidak menampakkan akibat penggunaan inovasi dalam paradigma ini.


                Berikut ini kami paparkan lebih rinci perilaku yang terjadi pada masing-masing dari kelima tahap proses keputusan-inovasi itu.


TAHAP PENGENALAN

                Kami pandang proses keputusan-inovasi itu berangkat dari tahap pengenalan yang bermula ketika orang (atau unit pengambil keputusan lain) dihadapkan pada keberadaan inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu.

Mana Datang Dulu, Kebutuhan atau Pengetahuan tentang inovasi?

Beberapa pengamat menyatakan bahwa seseorang berperan pasif keti-ka sedang dihadapkan pada kesadaran-pengetahuan tentang inovasi. Pandangan ini menyatakan bahwa orang tidak sengaja (kebetulan) mengetahui inovasi, karena orang tidak dapat aktif mencari suatu inovasi sebelum mengetahui bahwa inovasi itu ada. Misalnya, Coleman et al (1966:59) menyimpulkan bahwa pengenalan awal tentang suatu obat-obatan medis terjadi terutama melalui saluran komunikasi dan pesan-pesan penjaja atau iklan yang tidak dicari oleh para dokter (melainkan datang sendiri); pada tahap berikutnya dalam proses keputusan-inovasi, para dokter itu menjadi pencari informasi yang aktif, biasanya kepada teman-teman sejawatnya.
Para sarjana difusi yang lain karena merasa bahwa seseorang memperoleh kesadaran-pengetahuan hanya melalui perilaku yang harus diprakarsai, dan bahwa kesadaran itu bukanlah semata-mata aktifitas yang pasif Predisposisi kita. kecenderungan ini disebut selective exsposure.[1] Hassinger (1959) menyatakan bahwa seseorang jarang membuka dirinya pada pesan-pesan tentang inovasi jika mereka tidak merasa membutuhkannya, dan bahkan andaikata orang itu dihadapkan pada pesan-pesan tersebut, tidak banyak dampaknya bila ia tidak melihat relevansi inovasi itu dengan kebutuhannya dan tidak sejalan dengan sikap dan kepercayaan yang ada padanya.[2]
Misalnya, seorang petani mungkin saja telah berpergian melewati wilayah ladang jagung hibrida yang luasnya ratusan kilometer, dan ia "tidak melihat" inovasi jagung yang unggul itu. Seorang warga kalifornia mungkin telah berjalan di depan rumah-rumah yang memasang antena parabola dan ia tidak mengetahui inovasi tersebut. Selective exposure dan selective perception bertindak terutama sebagai kunci hati kita dalam hal pesan-pesan inovasi, karena ide-ide itu baru. Kita tidak mungkin punya sikap dan kepercayaan yang konsisten mengenai ide-ide yang tidak pernah kita sebelumnya. Dengan demikian gagasan selective exposure dan selective perception ini banyak menopang pandangan Hasinger bahwa kebutuhan akan suatu inovasi mestinya mendahului kesadaran-pengetahuan tentang inovasi.
Tetapi bagaimana kebutuhan kita muncul? Kebutuhan adalah suatu keadaan tak puas atau frustasi yang terjadi ketika keinginan lebih besar daripada kenyataannya, ketika keinginan "lebih besar" daripada "perolehan". Mungkin saja, kebutuhan seseorang tumbuh ketika ia mengetahui ada inovasi, begitu pula sebaliknya. Beberapa agen pembaru menumbuhkan kebutuhan dikalangan para binaan dengan cara menunjukkan adanya ide-ide baru yang mereka inginkan. Jadi pengetahuan tentang keberadaan suatu inovasi dapat memunculkan motivasi untuk pengapdosiannya.
Sama sekali tidak berarti bahwa kebutuhan atau masalah yang dirasakan merupakan penjelas yang sangat sempurna tentang mengapa seseoramg memulai proses keputusan inovasi. Hal ini sebagian dikarenakan orang tidak melalui mengetahui kapan mereka punya masalah dan juga kebutuhan seseorang tidak selalu sama dengan apa yang diperkirakan oleh para ahli. Profesor Edgar Dale mengatakan "Kita mungkin ingin makanan tetapi tidak membutuhkannya., Dan mungkin kita membutuhkan vitamin tetapi tidak menginginkannya".
Apa kesimpulannya? Apakah kebutuhan mendahului pengenalan suatu ide baru ataukah pengenalan terhadap inovasi menciptakan kebutuhan terhadap ide baru itu? Barangkali ini seperti pertanyaan : Mana lebih dulu telur ataukah anak ayam? Penelitian yang ada tidak memberi jawaban yang jelas terhadap pertanyaan "Apakah pengenalan inovasi ataukah kebutuhan terhadap ide baru yang muncul lebih dulu" ini. Kebutuhan terhadap inovasi tertentu, misalnya pestisida untuk membasmi kutu loncat yang merusak tanaman, mungkin datang terlebih dulu sebelum orang mengetahui inovasi tentang itu. tetapi banyak inovasi lain yang mungkin justru menumbuhkan kebutuhan; misalnya pada inovasi-inovasi konsumtif seperti mode pakaian.

Tipe-tipe Pengetahuan Inovasi

                Seperti kami kemukakan pada Bab 1, proses keputusan-inovasi pada intinya adalah suatu pencarian informasi dan kegiatan pemrosesan informasi, di mana orang termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai kelebihan dan kekurangan inovasi di dalam memenuhi kebutuhan mereka. Suatu inovasi biasanya mengandung informasi mengenai perangkat lunak, yakni informasi tentang inovasi itu sendiri yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian kita tentang sebab akibat yang berkait dengan pencapaian suatu hasil yang diinginkan (yaitu pemenuhan kebutuhan atau pemecahan masalah yang dihadapi). Pertanyaan seperti "inovasi apakah itu?", "Bagaiman cara kerjanya?" dan "mengapa bisa begitu?" adalah yang biasanya dilontarkan orang begitu ia mengetahui adanya suatu inovasi. Pengetahuan tentang adanya inovasi ini mendorong orang mencari pengetahuan "Bagaimana cara" dan pengetahuan "prinsip-prinsip". Pencarian tipe-tipe informasi ini berada pada tahap pengenalan dari proses keputusan-inovasi tetapi mungkin juga terjadi pada tahap persuasi dan keputusan.
                Pengetahuan “bagaimana cara” terdiri dari informasi yang diperlukan untuk menggunakan suatu inovasi dengan tepat. Pengguna haruslah memahami berapa banyak penggunaan inovasi itu agar aman, bagaimana menggunakannya dengan tepat/benar, dan sebagainya. Pada inovasi-inovasi yang relatif rumit, pengetahuan bagaimana cara yang diperlukan untuk pengadopsian yang tepat lebih banyak daripada inovasi-inovasi yang sederhana . dan bila tidak diperoleh pengetahuan ini secara memadai sebelum percobaan dan pengadopsian, kemungkinan besar terjadi penolakan atau diskontinuansi. Sampai sekarang hanya sedikit penyelidikan mengenai pengetahuan ini.
                Pengetahuan “prinsip” terdiri dari informasi berkenaan denagn prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana inovasi itu berfungsi. Contoh pengetahuan prinsip adalah : teori kuman yang mendasari berfungsinya vaksinasi dan jamban keluarga dalam kampanye sanitasi dan kesehatan desa; dasar-dasar reproduksi manusia, yang membentuk dasar bagi inovasi keluarga berencana; dan biologi pertumbuhan tanaman mendasari inovasi pupu. Biasanya tanpa “pengetahuan prinsip keilmuan” ini seseorang telah dapat mengadopsi inovasi, tetapi bahaya salah pakai ide-ide baru akan lebih besar, dan mungkin terjadi diskontinuansi. Tentu kemampuan seseorang untuk meramal masa depan inovasi dalam jangka panjang akan mudah jika ia menguasai pengetahuan prinsip inovasi itu.
                Apakah peranan agen pembaru dalam penyampaian ketiga tipe pengetahuan itu? Kebanyakan agen pembaru memusatkan usaha mereka pada penciptaan pengetahuan-kesadaran (pengetahuan ttg adanya inovasi), walaupun tujuan ini sebetulnya dapat dicapai dengan lebih efisien melalui media masa. Agen pembaru mungkin dapat memainkan peran yang penting dalam proses keputusan-inovasi bila mereka memusatkan pada pengetahuan “bagaimana cara”, yang penting bagi klien pada tahap percobaan dan keputusan. Kebanyakan agen pembaru menganggap penciptaan pengetahuan prinsip di luar tanggung jawab mereka dan lebih tepat sebagai tugas sekolah dan pendidikan umum. Sangatlah sulit bila agen pembaru mengajar pemahaman mengenai prinsip-prinsip ilmu yang mendasari inovasi. Tetapi bila binaan tidak memahami ini, tugas jangka panjang agen pembaru tetap sulit.

Orang Yang Tahu Inovasi Lebih Awal dan Lebih Akhir


Beberapa rampatan berikut ini merangkum hasil-hasil temuan penelitian berkenaan awal akhirnya mengetahui inovasi:

Rampatan 5-1: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, pendidikannya lebih tinggi daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.2 : Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, status sosialnya lebih tinggi daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.3: orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak beterpa media massa daripad ayang tahu belakangan .
Rampatan 5.4: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak terkait pada saluran komunikasi antar pribadi daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.5: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih sering kontak dengan agen pembaru daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.6: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih tinggi partisipasi sosialnya daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.7: Orang yang awal tahu suatu inovasi lebih kosmopolit dari pada yang belakangan tahu.

                Ciri-ciri orang yang lebih awal tahu suatu inovasi sama dengan ciri-ciri inovator: lebih tinggi pendidikannya, lebih tinggi status sosialnya, dsb. Tetapi tentu saja saja ini tidak berarti bahwa orang yang lebih dulu tahu inovasi pasti inovator.
                Mengetahui suatu inovasi seringkali tidak otomatis menggunakannya. Kebanyakan orang tahu banyak tentang inovasi tetapi tidak mengadopsinya. Mengapa? Salah satu alasan. Mungkin orang itu mengenal suatu ide baru tetapi menganggapnya tidak relevan dengan situasi dirinya, atau tidak menganggapnya sebagai suatu yang bermanfaat. Karena itu sikap terhadap inovasi seringkali mengantarai tahap pengetahuan dan keputusan. Dengan kata lain, sikap atau kepercayaan seseorang tentang inovasi dapat dikatakan sebagai jembatan menuju keputusan.


TAHAP PERSUASI

Pada tahap persuasi[3] dari proses keputusan inovasi seorang membentuk sikap[4] berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Apabila kegiatan mental pada tahap pengetahuan yang terutama adalah kognitif (untuk mengetahui), pada persuasi adalah efektif (perasaan, kepercayaan). Sebelum seseorang mengetahui suatu ide baru tentu saja ia tidak dapat menyikapinya.
Pada tahap persuasi orang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi; ia aktif mencari informasi mengenai ide baru. Menjadi penting pada tahap ini adalah di mana ia mencari informasi, pesan apa yang ia terima, dan bagaimana ia menafsir informasi yang ia terima itu. Selective perception penting dalam menentukan perilaku seseorang pada tahap persuasi, karena pada tahap inilah orang mengembangkan pandangan umumnya tentang inovasi, terutama keuntungan relatif, kesesuaian dan kerumpilannya, sangat penting dalam tahap ini (gambar 5-1).
Dalam mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi secara mental orang menerapkan ide baru itu ke dalam situasi diri-nya sekarang, atau masa mendatang, sebelum menentukan apakah ia akan mencobanya atau tidak. Kemampuan berpikir hipotetik dan bukan faktual semata, dan kemampuan memproyeksi masa depan, termasuk perencanaan, merupakan kemampuan mental yang penting dalam tahap persuasi.
Semua inovasi menimbulkan ketakpastian bagi seseorang, yang umumnya tidak percaya hasil-hasil ide baru itu. Karena itu ia membutuhkan penguat sosial bagi sikapnya terhadap ide baru itu. Orang ingin tahu bahwa pemikirannya sejalan dengan pandangan teman-temannya. Pesan-pesan media massa terlalu umum untuk memberi penguatan khusus yang diperlukan orang dalam upaya pengukuhan kepercayaannya terhadap inovasi.
Pada tahap persuasi, terutama pada tahap keputusan nanti, orang biasanya akan mencari “informasi penilaian-inovasi”, yang dapat mengurangi ketidakpastian akan akibat/hasil yang diharapkan dari suatu inovasi. Di sini biasanya orang ingin memperoleh jawab atas pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah hasil/akibat penggunaan inovasi ini?” dan “Apakah kemanfaatan dan kemudorotan inovasi ini bagi saya, kalau saya menggunakannya?”. Untuk jenis ini informasi seperti ini, walaupun seringkali mudah diperoleh dari penilaian ilmiah tentang inovasi, yang biasanya dicari orang adalah informasi-informasi dari teman-teman mereka yang punya pandangan subyektif mengenai inovasi (berdasar pengalaman pribadi dalam pengadopsian inovasi); informasi ini lebih menyakinkan mereka. Seringkali kita terdolong unuk mengadopsi inovasi ketika orang yang senasib dengan kita mengemukakan penilaian mereka yang positif tentang ide baru itu.
Hasil pokok tahap persuasi adalah sikap yang berkenan atau tidak berkenan terhadap suatu inovasi. Diperkirakan persuasi ini menimbulkan perubahan perilaku nyata berikutnya (yakni pengadopsian atau penolakan inovasi) sejalan dengan sikap yang telah terbentuk. Tetapi kita tahu bahwa banyak kasus di mana sikap tidak sejalan dengan tindakan.
Kesenjangan antara sikap berkenaan dengan pengadopsian inovasi banyak dikemukan terhadap pada ide-ide kontrasepsi di negara-negara yang sedang berkembang. Misalnya, 80% atau lebih orang tua balita di negara seperti India dan Pakistan yang disigi mengatakan mengetahui cara-cara KB dan berkenan (setuju) menggunakannya. Tetapi hanya 15-20% dari mereka yang betul-betul mengadopsinya (Roger, 1973:228). Perbedaan sikap dan penggunakan ini disebut kesenjangan KAP (singkatan dari Knowledge-Attitude-Practice) dalam bidang keluarga berencana. Barangkali kesenjangan ini terjadi karena (1) alat kontrasepsi tidak siap diterima, dan atau (2) dalam pikiran para calon akseptor KB, cara-cara KB yang ada sangat tidak cocok untuk para orang tua karenabeberapa efek samping tertentu yang tidak diinginkan dari alat-alat kontrasepsi itu.
Mungkin yang penting dicatat di sini adalah bahwa terbentuk sikap berkenan atau tak berkenan terhadap suatu inovasi langsung dan segera membawa orang pada pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolaknya. Namun demikian ada kecenderungan bahwa antara sikap dan perilaku itu lebih sejalan.
Inovasi preventif adalah ide baru yang diterima seseorang dalam rangka menghindari terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan di masa mendatang. Peristiwa yang tak diinginkan itu bisa terjadi (atau tidak) bila inovasi itu tidak diadopsi. Dengan demikian akibat (hasil) yang diharapkan dari inovasi preventif itu tidak pasti. Dalam demikian akibat (hasil) yang diharapkan dari inovasi preventif itu tidak pasti. Dalam situasi seperti itu motivasi orang untuk mengadopsi menjadi agak lemah. Contoh inovasi preventif adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi, penggunaan sabuk pengaman mobil, asuransi, membuat persiapan menghadapi bencana alam, dsb. Walaupun orang merasakan kebutuhan terhadap inovasi semacam itu, dan terjangkau, sering ia tidak mengadopsinya. Karena itu biasanya tingkat adopsi inovasi-inovasi preventif biasanya sangat rendah.
Ketidak-ajekan persuasi-adopsi pada inovasi preventif kadang-kadang dapat ditutupi dengan suatu isyarat bertindak, yakni suatu peristiwa pada saat mengkristalnya sikap berkenan berubah menjadi tingkah laku nyata. Beberapa isyarat bertindak itu terjadi secara alami; misalnya, banyak wanita mengadopsi kontrasepsi ketika mereka mengalami ketakutan untuk kehamilan atau keguguran (Rogers, 1973: 295-296). Pada kasus lain, kadang-kadang isyarat-bertindak dapat diciptakan oleh agen pembaru; misalnya beberapa program keluarga berencana nasional memberi inseptif sebagai isyarat bertindak bagi calon akseptor.
TAHAP KEPUTUSAN
Tahap keputusan dalam proses keputusan inovasi terjadi ketika seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada penentuan untuk menerima atau menolak inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya suatu inovasi sebagai suatu cara tindakan terbaik yang ada. Penolakan adalah keputusan untuk tidak menggunakan suatu inovasi.
Bagi kebanyakan orang, salah satu cara mengatasi ketidak-pastian konsekensi suatu inovasi adalah dengan mencoba sebagian ide baru itu. Sebetulnya, kebanyakan orang tidak akan mengadopsi suatu inovasi tanpa mencobanya terlebih dulu untuk memastikan kemanfaatan inovasi itu bagi situasi dirinya sendiri. Percobaan dalam skala kecil sering menjadi bagian dari keputusan untuk mengadopsi, dan penting sebagai cara untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan pengguna mengenai inovasi. Dalam-dalam kasus tertentu, ada inovasi yang tidak dapat dicoba, sehingga harus begitu saja diadopsi. Kebanyakan orang mencoba suatu inovasi kemudian bergerak ke suatu keputusan adopsi, bila setidak-tidaknya inovasi itu punya suatu tingkat keuntungan relatif tertentu. Cara-cara untuk memudahkan pencobaan inovasi dapat ditempuh misalnya dengan jalan membagikan sampel (contoh) inovasi secara gratis kepada para calon pengguna. Bukti mengenai hal ini diketemukan dari esperimen kancah dikalangan petani lowa, bahwa gratisan (pemberian cuma-cuma) contoh obat pembasmi rumput baru telah mempercepat periode keputusan inovasi sekitar satu tahun (Klonglan, 1962, 1963; Klonglan et al, 1960a, 1963).
Untuk orang-orang tertentu dan pada inovasi-inovasi tertentu, percobaan yang dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan dirinya telah dianggap cukup sebagai pengganti. Agen pembaru sering berusaha mempercepat proses keputusan-inovasi seseorang dengan mengadakan peragaan suatu ide baru di dalam suatu sistem sosial. Ada bukti bahwa strategi peragaan itu sangat efektif, terutama bila peraganya pemuka masyarakat (Magill dan Rogers, 1981).
Perlu diingat proses keputusan inovasi menurut logika biasa mengarah pada penolakan di samping menuju adopsi . Sebetulnya, setiap, tahap dalam proses itu . Misalnya, bisa saja orang menolak suatu inovasi pada tahap pengetahuan dengan jalan begitu saja melupakan setelah mengenal suatu inovasi. Dan tentu saja penolakan dapat pula terjadi walaupun sebelumnya orang telah memutuskan untuk menerima. Inilah Penghentian (discontinuation), yang terjadi pada tahap pengukuhan.
Penolakan inovasi dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.       Penolakan aktif, yaitu penolakan yang dilakukan seseorang setelah ia mempertimbangkan untuk mengadopsinya (bahkan mungkin sudah pernah mencoba) tetapi kemudian akhirnya memutuskan untuk tidak mengadopsinya.
2.       Penolakan Pasif (disebut juga non-adopsi), yakni orang yang tidak pernah bersungguh-sungguh mempertimbangkan penggunaan inovasi.

Jelas kedua tipe penolakan ini berbeda. Sayangnya dalam penelitian difusi keduanya sering belum dibedakan. Mungkin karena adanya prasangka (bias) dalam kebanyakan kajian difusi, tindak penolakan inovasi belum banyak mendapat perhatian ilmiah.
Di samping itu, biasanya dalam-dalam kajian difusi tertentu ada asumsi tersirat tentang urutan lurus (linear) ketiga tahapan pertama proses keputusan inovasi; pengetahuan persuasi keputusan. Dalam beberapa kasus, urutan yang terjadi mungkin pengetahuan-keputusan-persuasi. Misalnya, di suatu desa di Korea yang pernah saya teliti, para ibu yang sudah menikah dikumpulkan pada suatu tempat. Setelah petugas pemerintah memberi ceramah tentang IUD (suatu alat kontrasepsi), para ibu yang ingin mengadopsi diminta mengacungkan tangan (Rogers dan Kincaid, 1981:15). Delapan belas ibu mengacungkan tangan secara sukarela (mungkin sudah disiapkan), dan segera berbondong-bondong menuju klinik untuk pasang IUD. Dalam kasus ini, suatu keputusan inovasi yang mestinya opsional hampir menjadi keputusan-inovasi kolektif sebagai akibat adanya tekanan kelompok yang kuat. Strategi beracu-kelompok untuk keluarga berencana yang mirip ini juga terjadi di “kelompok perencanaan kelahiran” di RRC dan dalam pendekatan banjar di Bali, Indonesia (Rogers dan Chen, 1980). Di kedua tempat itu masyarakat menentukan siapa yang menginginkan anak, maka orangtuanya dianjurkan untuk masuk ke dalam kelompok perencanaan kelahiran ini. Tekanan kelompok yang begitu kuat untuk mengadopsi inovasi mungkin dipandang rendah (menjijikkan) bagi nilai-nilai kebebasan pada budaya-budaya tertentu, tetapi tidak di Korea, Cina, Indonesia. Dengan demikian, urutan pengetahuan-persuasi-keputusan seperti yang dikemukakan pada model kami (gambar 5-1) mungkin terkait budaya. Dalam beberapa setting budaya, tahap pengetahuan-pesuasi-keputusan mungkin berlangsung dalam satu urutan, setidak-tidaknya untuk inivasi-inovasi tertentu.
TAHAP PELAKSANAAN
Tahap Pelaksanaan terjadi ketika seseorang menggunakan inovasi itu. Sebelum tahap ini, proses keputusan-inovasi lebih banyak berupa tindakan mental. Namun tahap pelaksanaan melibatkan perilaku tampak, karena ide baru itu betul-betul dipraktekan. Konseptualisasi proses keputusan-inovasi dulu umumnya belum menyadari pentingnya, bahkan adanya tahap pelaksanaan (Misalnya Rogers dan Shoemaker, 1971:98-133). Sering orang telah memutuskan untuk mengadopsi suatu gagasan baru, tetapi tidak melaksanakannya. Masalah-masalah bagaimana cara tepat menggunakan inovasi mungkin muncul pada tahap pelaksanaan. Pelaksanaan biasanya merupakan kelanjutan langsung tahap tahap keputusan jika tidak di hambat beberapa masalah logistik, misalnya kadang-kadang inovasi yang dimaksud tidak tersedia.
Pada tahap pelaksanaan tetap ada ketakpastian dalam kadar tertentu tentang konsekuensi yang diharapkan seseorang, walaupun orang itu telah mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Pada saat pelaksanaan tiba, orang terutama ingin memperoleh jawaban atas pertanyaan “Di mana aku bisa memperoleh inovasi?”, “bagaimana aku harus menggunakannya?” dan “masalah-masalah teknis apakah yang akan aku hadapi, dan dapatkah aku mengatasinya?”. Karena itu pada tahap ini berlangsung usaha aktif untuk mencari informasi. Di sini peranan utama agen pembaru adalah memberi bantuan teknis kepada binaan begitu mereka mulai menjalankan inovasi itu.
Masalah-masalh pelaksanaan mungkin lebih serius bila pengguna inovasi adalah organisasi. Dalam suatu organisasi, biasanya hanya bebebrap orang yang terlibat dalam pengambilan keputusanan pelaksanaannya mungkin orang lain. Di samping itu, struktur organisasi yang menjaga kestabilan dan kelangsungan suatu organisasi, bisa menjadi kekuatan perintang pelaksanaan suatu inovasi. Pentingnya tahap pelaksanaan belum sepenuhnya disadari sampai saat para sarjana mulai mengkaji proses keputusan-inovasi dalam organisasi. Kami masih kekurangan kajian-kajian yang memadai tentang tahap pelaksanaan untuk keputusan-inovasi individual/opsional.
Akhir Pelaksanaan
Kapankah tahap pelaksanaan berakhir? Pelaksanaan itu biasa berlangsung dalam jangka yang panjang, tergantung pada sifat inovasinya. Tetap akhirnya toh pasti sampai pada suatu titik di mana ide-ide baru itu menjadi bagian yang melembaga dan menjadi cara rutin pekerjaan penggunanya. Inovasi itu akhirnya kehilangan kualitas pembedanya begitu penanda pemisah suatu ide baru (yakni kebaruan) itu menghilang. Titik ini biasanya dianggap sebagai akhir tahap pelaksanaan dan sering dipandang sebagai perutinan dan pelembagaan.
Mungkin juga ada terminasi dalam proses keputusan-inovasi, setidak-tidaknya pada sebagian orang. Tetapi sebagian yang lain mungkin melaksanakan proses keputusan-inovasi sampai tahap kelima, yakni pengukuhan, sebagaimana kami jelaskan pada bagian berikutnya nanti. Sekarang terlebih dulu kita akan membahas konsep reinvensi, yang sering merupakan bagian penting tahap pelaksanaan.
REINVENSI
                Sampai pada tahun-tahun terakhir ini kita berasumsi bahwa peng-adopsian suatu inovasi itu semata-mata menyalin atau meniru persis inovasi itu sebagaimana telah dipergunakan sebelumnya pada latar yang berbeda. Kadang-kadang pengadopsian suatu inovasi memang menunjukkan tindakan yang identik; misalnya, the California Fair Trade Law of 1931 (Undang-undang perdagangan Kalifornia 1931), undang-undang yang pertama untuk jenis ini, diadopsi oleh sepuluh negara bagian lain komplit dengan tiga kesalahan cetak yang ada pada undang-undang itu (Walker, 1971). Betapapun, pada banyak kasus suatu inovasi berubah dalam proses penyebarannya.

Apakah Reinvensi Itu?

                Seperti kami kemukakan pada Bab 1, para sarjana difusi sekarang mengenal konsep reinvensi, yang didefinisikan sebagai seberapa jauh suatu inovasi diubah oleh pengguna dalam proses pengadopsiannya. Sampai sekitar pertengahan tahun 1970an, reinvensi dianggap tidak ada, atau jarang terjadi. Bila responden dalam suatu sigi difusi mengatakan tentang reinvensi yang ia lakukan terhadap suatu ide baru, ini dianggap sebagai tindakan yang tidak lazim, dan diperlakukan sebagai “gangguan” dalam penelitian difusi. Para pengguna dianggap sebagai penerima pasif suatu inovasi, bukannya pengubah dan pengadopsi aktif suatu ide baru. Begitu para pakar difusi berubah anggapan bahwa reinvensi itu bisa terjadi, mereka mulai menemukan bahwa hal itu sangat sering terjadi, setidak-tidaknya pada inovasi-inovasi tertentu. Normalnya reinvensi tidak dapat diselidiki sebelum para peneliti difusi menggali data pelaksanaan adopsi, karena kebanyakan reinvensi terjadi pada tahap ini. Nyatanya penelitian akhir-akhir ini banyak menemukan terjadinya reinvensi pada inovasi-inovasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa pada penelitian difusi yang lalu, karen mengukur adopsi sebagai suatu pernyataan maksud untuk mengadopsi (pad atahap keputusan), mungkin dalam beberapa kasus telah terkecoh penyataan seseorang yang menyatakan mengadopsi padahal sebetulnya ia tidak dilaksanakan, atau dianggap tidak mengadopsi padahal cara mengadopsinya berbeda (tidak seperti lazimnya atau yang diharapkan). Kenyataan bahwa reinvensi bisa terjadi merupakan alasan kuat agar peneliti mengukur pengadopsian pada tahap pelaksanaan sebagaimana adanya: tindakan yang betul-betul dilakukan, bukan yang dimaksud akan dilakukan.
                Kebanyakan sarjan di masa lalu membedakan invensi dengan adopsi inovasi. Invensi adalah proses penemuan atau penciptaan suatu ide baru, sedangkan adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya inovasi sebagai cara bertindak yang terbaik. Jadi, adopsi proses penerimaan dan penggunaan gagasan yang ada. Namun perbedaan antara invensi dan adopsi tidak begitu tegas bila kita mengakui bahwa suatu inovasi belum tentu merupakan suatu yang fix (pasti, tidak bisa dirubah) begitu ia menyebar ke dalam suatu sistem sosial. Dengan alasan inilah agaknya reinvensi merupakan istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan pengubahan inovasi oleh pengguna dalam proses pengadopsiannya.

 Apakah Reinvensi Terjadi?

                Perhatian pada reinvensi akhir-akhir ini muncul karena lontaran gagasan oleh Charters dan Pellegrin (1972), yang merupakan sarjana pertama yang mengenali adanya reinvensi (walaupun mereka tidak menggunakan istilah ini). Kedua peniliti menjejaki pengadopsian dan pelaksanaan inovasi kependidikan “differentiated staffing di empat sekolah selama satu periode tahunan. Mereka menyimpulkan bahwa differentiated staffing itu bagi kebanyakan guru dan administrator sekolah tak lebih sekedar istilah, tidak ada ukuran kongkrit tentang perbedaan penampilan peran mereka … Istilah itu dapat (dan sungguh) berarti hal-hal yng betul-betul berbeda bagi staf tertentu, tetapi tidak berarti apa-apa bagi yang lain … Inovasi itu dienvansi di dalam, tidak dilaksanakan dari luar". Kedua sarjana ini mencatat sejauh mana perbedaan pembentukan inovasi itu pada keempat sekolah yang mereka kaji[5].
                Bila penyeledikan dirancang dengan konsep reinvensi di kepala, biasanya ditemukan reinvensi dalam kadar tertentu. Misalnya, penelitian terdahulu tentang inovasi di organisasi telah didasari asumsi bahwa suatu gagasan teknologis masuk suatu sistem dari sumber-sumber luar dan kemudian diadopsi (dengan relatif sedikit adaptasi) dan dilaksanakan sebagai bagian kegiatan yang berjalan dari organisasi itu. Asumsinya adalah bahwa pengadopsian inovasi yang sama oleh orang atau organisasi A akan sama dengan pengadopsian inovasi yang sama oleh oleh orang atau organisasi B. penyeledikan akhir-akhir ini dengan serius mempertanyakan asumsi ini. Misalnya:
q  Suatu segi nasional tentang sekolah-sekolah yang mengadopsi inovasi-inovasi yang dipromosikan oleh jaringan Difusi Nasional, suatu sistem difusi terdesentralisasi, menemukan bahwa 56% pengguna hanya melaksanakan aspek-aspek tertentu yang dipilih) dari suatu inovasi; banyak reinvensi seperti dianggap relatif kecil, padahal 20% saja dari pengadopsian sama dengan perubahan besar pada inovasi itu (Emrick et al, 1977:116-119).
q  Suatu penyeledikan tentang 111 inovasi dalam bidang instrumen ilmiah oleh von Hippel (1976) menemukan bahwa pada sekitar 80% kasus, proses inovasi dipengaruhi oleh pengguna (yakni, pelanggan). Bahkan pengguna membangun suatu prototipa produk baru itu, kemudian menyerahkannya ke pabrik. Maka “pengguna” memainkan peran yang sangat penting dalam merancang dan merancang-ulang inovasi-inovasi indusri ini.
q  Dari 104 pengadopsian inovasi oleh lembaga-lembaga kesehatan mental yang dikaji di Kalifornia, reinvensi terjadi agak lebih sering (55 kasus) dari pada pengadopsian yang tidak mengubah (49) kasus.
q  Suatu kajian tentang pengadopsian suatu alat perencanaan dengan komputer (yang disebut GBF/DIME) oleh lima puluh tiga badan pemerintah lokal, yang dipromosikan kepada mereka oleh badan federal, diketemukan adanya reinvensi pada sekitar separoh pengadopsian, walaupun sedikit (Eveland et al, 1977; Rogers et al, 1977a).

Berdasar penyelidikan-penyelidikan ini dan beberapa kajian reinvensi lainnya akhir-akhir ini[6] kami mengemukakan rampatan 5-8: Reinvensi terjadi pada tahap pelaksanaan untuk inovasi-inovasi tertentu dan pada para pengguna tertentu.
Reinvensi Belum Tentu Jelek
Apakah reinvensi itu baik atau buruk tergantung pada pandangan seseorang. Reinvensi umumnya tidak mendapat banyak perhatian positif dari lembaga-lembaga litbang, yang mungkin menganggap reinvensi sebagai perusakan terhadap produk penelitian asli mereka. Memang, beberapa perancang membuat inovasi sedemikian rupa sehingga sulit direinvansi; mereka merasa bahwa “anti re-invensi” merupakan cara yang baik untuk menjaga kualitas inovasi mereka. Lembaga-lembaga difusi mungkin juga tidak suka reinvensi karena merasa bahwa mereka mengetahui bentuk inovasi terbaik yang harus diadopsi pengguna. Juga, para agen pembaru sering mengalami kesulitan mengukur penampilan (hasil kerja) mereka bila sesuatu inovasi berubah. Ukuran yang biasa mereka pakai-kecepatan adopsi suatu inovasi dapat menjadi kacau jika tingkat reinvensinya tinggi.
Dilain pihak para para pengguna umumnya beranggapan bahwa reinvensi itu baik. Mereka cenderung menekankan bahkan terlalu menekankan banyaknya reinvensi yang telah mereka lakukan (Rice and Rogers, 1980). Pilihan-pilihan yang tersedia bagi calon pengguna tidak hanya sekedar mengadopsi atau menolak, melainkan juga pilihan untuk mengubah atau menolak secara selektif beberapa komponen inovasi. Beberapa masalah pelaksanaan adopsi yang dihadapi seseorang atau organisasi tidak dapat diperkirakan sifatnya, sehingga perubahan-perubahan tadinya dirancang sebagai akibat inovasi seringkali tidak terjadi.
Reinvansi dapat menguntungkan pengguna suatu inovasi. Keluwesan proses pengadopsian suatu inovasi dapat mengurangi kesalahan, dan mendorong pembiasaan inovasi itu sehingga cocok dengan kondisi-kondisi setempat dan atau kondisi yang berubah. Sebagai akibat reinvensi, suatu inovasi bisa lebih tepat untuk mengatasi masalah-masalah baru yang muncul selama proses keputusan inovasi. Tidaklah mengherankan, suatu sigi tentang inovasi di sekolah-sekolah negeri menemukan bahwa ketika suatu inovasi kependididkan direinvensi oleh suatu sekolah, pengadopsiannya cenderung lebih langgeng (Berman and Pauly, 1975). Penghentian (diskontinuansi) jarang terjadi karena inovasi-inovasi yang direinvensi lebih cocok dengan situasi sekolah. Penyeledikan ini mengungkap bahwa terjadi suatu tingkat reinvensi yang agak tinggi; inovasi-inovasi dan sekolah terikat dalam suatu bentuk interaksi yang saling berpengaruh, karena ide baru itu dan sekolah beradaptasi satu sama lain (Berman dan McLaughlin, 1974, 1975, 1978; Berman et al, 1975,1977). Biasanya sekolah tidak banyak berubah, dan inovasi sangat banyak berubah[7].
Orang-orang dan organisasi menjalani proses keputusan-inovasi mengenai inovasi yang sama, mempunyai kebutuhan, masalah dan situasi yang sangat berbeda. Perbedaan-perbedan ini membentuk inovasi yang dilaksanakan secara nyata, walaupun masih disebut dengan nama “induk”nya. Kenya-taannya, banyak unsur inovasi induk itu yang diadopsi banyak orang, sementara dalam beberapa hal yang penting berangkat dari model aslinya[8].

Mengapa Terjadi Reinvensi?

                Terjadinya reinvensi sebagian karena alasan-alasan yang ada pada inovasi sendiri, dan sebagian lagi karena alasan yang bersumber pada orang-orang atau organisasi atau organisasi penggunanya.
1.       Inovasi-inovasi yang relatif lebih rumit dan sulit dipahami lebih cenderung direinvensi (Larsen dan Agarwala Rogers, 1977a, 1977b).
2.       Reinvensi dapat terjadi karena pengguna kekurangan pengetahuan rinci mengenai inovasi, misalnya ketika relatif hanya ada sedikit kontak antara orang itu dengan agen pembaru atau para pengguna yang lebih dulu (Rogers et al, 19771;Eveland et al, 1977; Larsen dan Argawal Rogers, 1977a:38).
3.       Inovasi yang berupa konsep umum atau yang berupa alat (misalnya komputer) yang banyak kemungkinan aplikasinya, lebih cenderung direinvensi (Rogers, 1978). Unsur-unsur yang membentuk suatu inovasi bisa berupa unsur-unsur yang membentuk suatu inovasi biasa terikat dalam bundel / paket ketat atau longar {koontz, 1976). Inovasi bundel-bundel ketat terdiri dari kumpulan komponen yang sangat saling bergantung; sulit mengadopsi satu unsurnya saling mengadopsi unsur-unsur yang lain. Sedang inovasi bundel terdiri dari unsur-unsur yang tidak saling berkaitan ;inovasi seperti ini oleh pengguna dapat dengan luwes di cocokan dengan kondisi mereka. Dengan demikian perancang atau pembuat inovasi dapat mempengaruhi tingkat reinvensi dengan memudahkan atau menyulitkan reinvesinya(von Hippel dan Finkelkestein, 1979).
4.       Kemungkinan terjadi reinvensi lebih besar bila suatu inovasi dipakai untuk memecahkan suatu masalah pengguna yang berentang luas. Salah satu alasan pokok tindakan reinvensi adalah karena seseorang atau organisasi mencocokkan inovasi itu dengan masalah yang berbeda satu sama lain. Masalah yang tadinya mendorong seseorang mencari suatu inovasi ikut menentukan bagaimana inovasi itu akan dipergunakan. Dapat diharap tingkat kecenderungan reinvensi suatu inovasi lebih besar apabila masalah individu atau organisasi yang dipecahkan dengan inovasi itu sangat beragam.
5.       Kebanggaan lokal terhadap pemilikan suatu inovasi bisa juga merupakan penyebab terjadinya reinvensi. Di sini inovasi diubah sedikit, mungkin sekedar dipulas sehingga tampaknya merupakan keluaran lokal. Dalam beberapa kasus reinvensi semu macam in, bisa jadi inovasi hanya diberi nama baru, tanpa ada perubahan penting. Penokalan inovasi seperti itu mungkin sebagai penyesuainya terdorong oleh suatu keinginan untuk mendapat status, atau keinginan agar inovasi itu lebih dapat diterima oleh sistem setempat. Sering, ketika ditanya mereka menjawab: ini buat-an orang setempat (lokal)”, seperti ditemukan Haverlock (1974) dalam suatu sigi terhadap 353 penilik sekolah di AS. Barangkali, seperti dikemukakan Prof. Nathan Calan dari Universiats Michigan, “inovasi mirip dengan sikat gigi; orang tidak mau meminjam kepunyaan orang lain. Mereka ingin punya kepunyaan sendiri. Atau setidak-tidaknya mereka ingin memberi “cap” mereka pada inovasi dasar, sehingga tampak berbeda dengan pengadopsian orang inovasi itu oleh orang lain. Dari sini tampak dua kebutuhan psikologis yang kuat untuk melakukan reinvensi. Suatu ilustrasi dapat diambil dari difusi komputer pada pemerintah lokal di Amerika serikat. Selama tahun 1970an ada perluasan besar-besaran penggunaan komputer untuk pemrosesan data oleh pemerintah kota dan kecamatan. Lembaga-lembaga pemerintah segera membelanjakan lebih sejuta dolar pertahun untuk peralatan komputer dan program-program-nya untuk mengerjakan tugas pengolahan data seperti menghitung, menyimpan data dsb. Suatu penyelidikan oleh Danziger (1977) tentang bagaimana dua belas kota dan kecamatan mengadopsi inovasi pengolah data dengan komputer itu menemukan tingkat re-invensi yang sangat mengejutkan. Salah satu alasan reinvensi itu adalah bahwa para pemrogram komputer yang bekerja di pemerintah lokal memandang perubahan inovasi yang terpaket seperti itu sebagai pekerjaan yang menantang dan kreatif. Lebih senang mereinvensi suatu program komputer hanya daripada sekedar menyalin dari pemerintah lokal lainnya atau membelinya dari penyalur komersil, yang dipandang sebagai tidak merangsang dan sangat membosankan. Lebih jauh, danziger menemukan bahwa pegawai pemerintah menganggap penting reinvensi itu untuk menunjukkan keunikan mereka dalam pengadopsian inovasi. Kebanggaan mereka untuk bereinvensi ini merupakan contoh oleh Freud disebut: kecintaan diri sendiri untuk berbeda dengan orang lain”. Relatif kecilnya “cap” yang mereka tempel, sebagai bentuk reinvensi, bagi mereka tampak sebagai kemajuan besar.
6.       Akhirnya, reinvensi bisa terjadi karena lembaga pembaruan mempengaruhi binaannya untuk mengubah atau menyesuaikan suatu inovasi. Seperti kita bahas sebelumnya, lembaga pembaruan umumnya menentang reinvensi. Namun lembaga-lembaga pembaruan yang terdesentralisasi mungkin justru mendorong binaannya agar reinvensi ide-ide baru.

Pengenalan adanya reinvensi mengarahkan pada pandangan yang berbeda tentang perilaku adopsi; disamping sekedar penerimaan atau penolakan, calon pengguna bisa merupakan partisipan aktif dalam proses pengadopsian dan penyebarannya, berjuang memberi makna pada informasi baru itu begitu inovasi itu diterapkan pada konteks mereka sendiri. Konsepsi perilaku adopsi seperti ini, termasuk didalamnya reinvensi, lebih sejalan dengan apa yang sebagian responden telah pernah disampaikan kepada para peneliti pada penelitian difusi beberapa tahun yang lalu, tetapi kurang mendapat perhatian.


PEMBAJAKAN KAPAL UDARA : REINVENSI DIANGKASA­­­[9]

                Pembajakan pesawat udara merupakan kasus yang luar biasa dan menarik tentang reinvensi yang berkelanjutan. Pembajakan udara yang pertama terjadi di Peru pada 1930 ; inilah invensi asli. Tetapi pembajakan pesawat udara betul-betul mulai menyebar pada awal 1968, dengan banjir pembajakan ke Kuba (Gambar 5-2). Selama putaran pertama pembajakan selama dua setengah tahun berikutnya.media massa menguraikan setiap peristiwa serinci-rincinya, sehingga memungkinkan para pembajak berikutnya memperoleh pelajaran yang berharga dari nilai sebelumnya. Sekitar 80% dari 70 pembajakan (terdiri antara tahun 1968-1970) telah berhasil, walaupun lembaga penerbangan federal (federal Aviation Agency= FAA) melakukan tindak balasan untuk mencegah pembajakan dengan cara : memeriksa semua penumpang sebelum mereka masuk pesawat, membuat dan menyebar profil pembajak, memberi hukuman berat pembajak, dsb. Antar pembajak tidak mungkin ada komunikasi langsung, namun mereka berterima kasih kepada media massa yang memuat setiap peristiwa pembajakan, sehingga mereka bisa mempelajari teknik pembajakan yang gagal dan yang berhasil. Dan begitu suatu tindak balasan FAA berhasil merintangi suatu teknik pembajakan, teknik baru direinvensi.
                Mula pembajakan di AS kebanyakan menerbangkan pesawat ke Kuba,yang pada saat itu menjadi surga bagi kaum sosialis, dan bagi para pembajak di sebut pahlawan Havana. Namun era pertama pembajakan bermotif politik ini berakhir, dengan kembalinya secara suka rela enam pembajak dari pembajak untuk menerima hukuman penjara di AS (pitcher et al 1978). Mereka mengeluh pembedaan rasial dan perlakuan tak layak lainnya di Kuba.
 Mulai pertengahan tahun 1970an putaran kedua pembajakan berlangsung di mana para pembajak menuntut uang tebusan untuk keselamatan penumpang . Usaha meminta uang tebusan yang pertama sangat berhasil ,
Dan si pembajak D.B. Coope, yang diterjun payungkan dengan uang tebusan $200.000 ke daerah terpencil menjadi terkenal. Peristiwa pemerasan ini mendorong FAA dan industri penerbangan memulai tindakan balasan baru, sehingga pembajakan semakin sulit berhasi, dan selama putaran kedua tingkat ini tingkat keberhasilan pembajakan turun sampai 66% (Gambar 5-2). Pemerintah AS mempelajari berbagai cara pembekukan pembajak.
                Peranan media massa dalam membantu para pembajak belajar dari perompak udara sebelumnya barangkali diperlihatkan dengan baik oleh acara televisi, Doomsday light. Drama ini menggambarkan seorang pembajak yang mengacam petugas penerbangan bahwa sebuah bom peka tenanan akan meleedak begitu pesawat turun sampi tingkat ketinggian tertentu pada waktu mendarat. Setelah acara ini disiarkan, ancaman-ancaman lewat telepon mempola, begitu pula setelah acara ini disiar-ulangkan. Setelah pertunjukan DoomsDay Flight di televisi Montreal, seorang pemeras menggunakan ancaman bom untuk menuntut seperempat milyar dolar dari sebuah pesawat terbang; dia katakan telah menaruh sebuah bom yang akan meledak bila pesawat mencapai ketinggian 5.000 kaki. tetapi si pembajak digagalkan ketika perusahaan penerbangan membelokkan pesawat mereka dan mendarat di bandara udara denver (berketinggian 5.393 kaki). Peristiwa-peristiwa lain ancaman bom peka ketinggian juga terjadi, biasanya segera setelah acara Doomsday Flight.
                Selama putaran ketiga pembajakan, pada akhir 1971 dan 1972, FAA memperoleh keunggulan nyata dalam menghadapi setiap arus baru teknik pembajakan yang direinvensi, dan tingkat keberhasilan pembajakan merosot sampai hanya 29% (Hamblin dkk, 1973:125). Hal ini dikarenakan media massa dengan sukarela sepakat tidak menyiarkan rincian teknik pembajakan. Para psikiatriwan yang mengkaji para pembajak menemukan bahwa kemasyhuran (karena tindak kejahatan) merupakan salah satu motivasi utama mereka, maka media massa menyetop penyiaran nama-nama pembajak udara. Begitu keinginan publikasi nasional tertutup, tingkat usaha pembajakan menurun




               
TAHAP KONFIRMASI

                Buku empirik yang diberikan beberapa peneliti* menunjukkan bahwa suatu keputusan untuk mengadopsi atau menolak seringkali bukan tahap akhir proses keputusan-inovasi. Misalnya, Mason (1962a) menemukan bahwa para responden-nya, petani Oregon, masih mencari informasi setelah mereka memutuskan untuk mengadopsi sebagaimana sebelumnya. Pada tahap pengukuhan, orang mencari penguat (reinforcement) bagi keputusan-inovasi yang telah dibuatnya, tetapi mungkin dia mengubah keputusan itu bila mendapatkan pesan-pesan yang bertentangan mengenai inovasi itu. Tahap pengukuhan berlangsung dalam jangka waktu tak terbatas setelah keputusan untuk mengadopsi atau menolak (Gambar5-1). Sepanjang tahap ini orang berusaha menghindari keadaan disonansi atau menguranginya bila terjadi.

Disonansi

                Perubahan perilaku manusia sebagian timbul karena dorongan suatu kondisi di dalam diri yang tidak seimbang atau disonan, suatu keadaan jiwa yang tidak enak, sehingga orang berusaha untuk mengurangi atau menghilangkannya. Ketika orang merasakan keadaan disonan, biasanya dia terdorong untuk menguranginya dengan jalan mengubah pengetahuan, sikap, atau tindakan-tindakannya. Dalam kasus perilaku inovatif, pengurangan disonan terjadi ketika :
1.       Orang merasakan suatu kebutuhan atau menghadapai masalah, maka ia mencari informasi tentang beberapa cara/alat, misalnya inovasi, untuk memenuhi kebutuhan itu. Kesadaran orang akan kebutuhan terhadap inovasi dapat memotivasi kegiatan pencarian informasi mengenai inovasi. Ini terjadi terutama pada tahap pengenalan dalam prose keputusan-inovasi.
2.       Orang mengetahui suatu ide baru dan berkenan terhadapnya, tetapi belum mengadopsinya. Kemudian ia terdorong untuk mengadopsi inovasi itu untuk mengurangi atau menghilangkan disonasi antara apa yang ia percaya dengan yang ia lakukan. Perilaku ini terjadi pada tahap keputusan dan tahap pelaksanaan dalam proses keputusan-inovasi.
3.       Orang mendapatkan informasi yang mempengaruhinya untuk mestinya tidak mengadopsi, setelah ia memutuskan untuk mengadopsi inovasi dan melaksanakannya. Disonansi seperti ini mungkin bisa dikurangi dengan menghentikan penggunaan inovasi (discontinuation). Atau, bila disonan itu terjadi karena tadinya ia menolak kemudian ia mendapat inovasi yang pro-inovasi, ia dapat mengurangi dengan jalan mengadopsi inovasi. Perilaku seperti ini (penghentian atau adopsi terlambat) terjadi selama tahap pengukuhan dalam proses keputusan-inovasi

Ketiga cara penguruangan disonansi ini berupa tingkah laku sehingga sikap dan tindakan sejalan. Tetapi seringkali tidak mudah mengubah keputusan (penolakan atau pengadopsian) yang telah dibuat; tindakan yang dilakukan cenderung merupakan usaha pemantapan keputusan semula. Karena itu orang sering berusaha menghindari disonan dengan jalan hanya mencari informasi-informasi yang mereka harapkan mendukung atau menguatkan keputusan yang telah dibuat. Inilah contoh selective exsposure[10] . Selama tahap pengukuhan orang menginginkan pesan-pesan yang pendukung yang dapat mencegah disonansi, tetapi mungkin ada beberapa informasi yang tak terhindarkan sampai kepada orang itu, sehingga ia mempertanyakan kembali keputusan menerima/menolak yang telah ia buat.
Pada tahap pengukuhan, agen pembaru mempunyai peran yang sangat penting. Di masa lalu, para agen pembaru biasanya hanya tertarik pada usaha bagaimana agar orang mengambil keputusan mengadopsi inovasi, padahal sebetulnya ia punya tambahan tanggung jawab pada tahap pengukuhan, yakni memberi pesan-pesan penguat kepada para pengguna inovasi. Barang kali salah satu alasan relatif tingginya penghentian beberapa inovasi adalah karena agen pembaru beranggapan bahwa bila telah mengadopsi orang akan terus mengadopsi. Namun kenyataannya tanpa usaha yang terus menerus tidak ada jaminan tak terjadi penghentian, sebab pesan–pesan negatif mengenai suatu inovasi ada dikebanyakan lingkungan pengguna. Misalnya kecepatan adopsi inovasi KB telah “mendatar” dan menurun pada beberapa bangsa Asia, karena adanya rumor mengenai akibat samping alat-alat kontrasepsi ini. Pesan-pesan negatif seperti itu pada tahap pengukuhan proses keputusan inovasi dapat menyebabkan diskontinuansi (penghentian penggunaan inovasi).

Diskontinuansi

                Diskontinuansi adalah keputusan untuk menolak (menghentikan penggunaan) suatu inovasi setelah tadinya mengadopsinya. Agak mengherankan bahwa telah diketemukan tingkat diskontinuansi yang tinggi pada beberapa inovasi. Leuthold (1967:106) menyimpulkan dari kajiannya terhadap suatu sampel petani Wisconsin bahwa tingkat diskontinuansi sama pentingnya dengan kecepatan adopsi dalam menentukan level pengadopsian suatu inovasi dalam kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, untuk suatu tahun tertentu ada orang-orang yang menghentikan penggunaan inovasi sebanyak jumlah pengguna awal. Akibatnya, agen pembaru harus menaruh perhatian pada pencegahan diskontinuansi inovasi itu.
Ada dua macam diskontinuansi (1) diskontinuansi pergantian, dan (2) diskontinuansi kecewa. Diskontinuansi pergantian adalah keputusan untuk menolak (berhenti menggunakan) suatu ide baru karena ganti mengadopsi ide baru yang lebih baik. Di banyak bidang, inovasi seperti gelombang laut, susul menyusul. Suatu ide baru menggantikan praktek-praktek yang ada, yang tadinya juga inovasi. Gambar 5-3 menunjukkan bagaiman pengadopsiannya gammanym menyebabkan diskontinuansi dua jenis obat-obatan lainnya. Kalkukator menggantikan mesin hitung tangan. Dan banyak lagi contoh diskontinuansi-pergantian dalam kehidupan sehari-hari.
Diskontinuansi kecewa adalah keputusan untuk berhenti menggunakan inovasi akibat tidak puas dengan hasil-hasilnya. Ketidak-puasan ini bisa muncul karena inovasi akibat tidak cocok dan tidak memberi keuntungan relatif yang diharapkan lebih baik daripada praktek sebelumnya. Atau karena lembaga pemerintah telah memperingatkan bahwa inovasi itu tidak lagi aman dan/atau inovasi itu punya efek samping yang membahayakan kesehatan. Atau diskontinuansi kecewa itu terjadi karena penggunaan yang salah (tidak tepat) sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan menguntungkan. Tipe diskontinuansi kecewa yang terakhir ini banyak terjadi pada pengguna akhir daripada pengguna awal. Karena pengguna-awal umumnya lebih berpendidikan dan penguasaan metode ilmiahnya lebih tinggi, mereka mengetahui bagaimana merampatkan hasil-hasi percobaan pada penggunaan inovasi dalam skala luas. Para pengguna-akhir sumber-sumbernya lebih kecil, sehingga mereka tidak dapat/mampu mengadopsi inovasi atau berhenti menggunakannya karena posisi keuangan mereka tidak memungkinkan (terbatas).


 
                Pemikiran ini sejalan dengan temuan Johnson dan van den ban (1959), Leuthold (1965, 1967), Bishop dan Coughenour (1964), Silverman dan Bailey ( 1961), dan Deutchman dan Havens (1965), yang mendukung rampatan 5-9: Pengguna akhir lebih cenderung menghentikan penggunaan inovasi dibanding dengan pengguna-awal.
                Para peneliti terdahulu menduga bahwa para pengguna-akhir itu relatih kurang inovatif karena mereka tidak mengdopsi atau lebih lamban dalam mengadopsi inovasi. Tetapi bukti-bukti mengenai diskontinuasi menunjukkan bahwa banyak diantara orang-orang “kolot” itu mengadopsi tapi kemudian berhenti, biasanya karena kecewa. Misalnya, Bishop Coughenour (1964) melaporkan bahwa diskontinuasi para petani Ohio berurut mulai dari 14 % pada kelompok inovator dan pemuka, 27% pada mayoritas awal, 34% pada mayoritas akhir, dan 40% si kolot. Leuthod (1965) melaporkan jumlah yang sebanding, yakni 18%, 26%, dan 37% pada petani Kanada. Beberapa peneliti telah mengidentifikasi sifat-sifat orang yang tinggi dan rendah tingkat diskontinuansinya. Umumnya, mereka yang berhenti itu pendidikannya kurang, status sosial Ekonominya rendah, kurang berhubungan dengan agen pembaru, dsb. Yang berkebalikan dengan sifat-sifat inovator. Orang yang tidak melanjutkan inovasi karakteristiknya sama dengan si kolot(laggard), yang tingkat kontinuansinya sangat tinggi.
                Diskontinuansi suatu inovasi adalah salah satu penanda bahwa ide itu tidak sepenuhnya melembaga dan merutin pada praktek yang sedang berlangsung dan cara hidup pengguna pada tahap pelaksanaan. Perutinan seperti itu jarang sekali (yang sering diskontinuansi) bila inovasi kurang sesuai dengan kepercayaaan dan pengalaman seseorang. Barangkali (1) ada perbedaan tingkat diskontinuansi inovasi satu dengan yang lain, sebagaimana ada perbedaan kecepatan adopsi, dan (2) sifat-sifat inovasi dalam persepsi pengguna (misalnya keuntungan relatif dan kesusaian) berkorelasi negatif dengan tingkat diskontinuansinya. Misalnya dapat diduga suatu inovasi yang keuntungannya relatifnya rendah kecepatan adopsinya rendah dan tingkat diskontinuansinya tinggi. Sedangkan inovasi-inovasi yang tinggi kecepatan adopsinya, rendah tingkat diskontinuansinya. Penemuan Caughenour (1959), dan Leuthold (1965) mendukung rampatan 5-10: inovasi yang tinggi kecepatan adopsinya, rendah tingkat diskontinuansinya.


Diskontikontinuansi terpakasa

Suatu tipe diskontinuansi unik dan secara teoritik menarik telah terjadi beberapa tahun yang lalu adalah larangan penggunaan inovasi-inovasi tertentu oleh lembaga-lembaga perundang-undangan federal, terutama dinas pengawasan makanan dan obat-obatan (the food and Drug Administration). Diskontinuansi yang dipaksakan seperti itu sering sekali merupakan hasil-hasil penelitian yang menunjukan bawah suatu inovasi kimiawi mungkin bisa menyebabkan kanker atau ancaman lain terhadap kesehatan konsumen .
Pada 1954, kajian disertai Ph.D saya, saya mengumpulkan data dari 148 petani dimasyarakat tani di lowa mengenai pengadopsian mereka terhadap inovasi pertanian seperti obat semprot pembasmi rumput 2.4 D makanan-tmbahan babi, anti biotik, DES untuk makanan ternak , dan pupuk kimia . Inovasi-inovasi kimiawi ini merupakan arus teknogi pertanian paska perang dunia II yang disebar oleh para ilmuan pertanian di universitas lowo dan dinas penyuluan lowa kepada para petani. Dampak inovasi-inovasi merupakan suatu “revolusi pertanian?” dalam produksi pertanian selama tahun 1950an dan 1960an, sehingga salah satu masalah penting pertanian AS adalah berlebihnya hasil panenan yang menumpuk di gudang-gudang pemerintah.
Pada 1954, seperti kebanyakan penyelidik difusi, saya menerima anjuran para ilmuwan pertanian bahwa inovasi-inovasi kimiawi ini baik dan benar. Namun demikian saya ingat, saya seorang petani telah menolak semua bahan kimia pertanian itu karena, katanya obat-obatan itu membunuh cacing tanah dan burung pipit ladangnya. Pada saat itu, saya pribadi menganggap sikap petani itu tidak rasional; tentu saja perilaku bertaninya saya masukkan dalam golongan “tradisional” dalam ukuran keinovatifan saya (yang mencangkup pengadopsian selusin atau lebih inovasi pertanian yang dianjurkan para ahli).
Beberapa tahun berikutnya, ketika saya membaca buku Rachel Carson (1962), Silent Spring, saya menganggap alasan anti obat-obatan kimianya sebagi exstrim dan absurd. Saya setuju dengan teman saya ahli agronomi yang menyebut Carson sebagai “wanita yang sangat berbahaya dan salah, yang merupakan ancaman bagi kemajuan pertanian Amerika”.
Tetapi munculnya gerakan lingkungan hidup di AS pada tahun 1960an dan hasil-hasil penelitian tertentu tentang akibat jangka panjang obat-obatan pertanian mulai membuat saya heran. Pada tahun 1972, Lembaga Pelestarian Lingkungan AS melarang menggunakan DDT sebagai suatu insektisida karena mengancam kesehatan manusia (Dulap,1981). Tahun berikutnya, DES dilarang untuk makanan ternak, begitu juga untuk antibiotik tambahan makanan babi, dan obat pembasmi rumput 2.4 D. Konsentrasi obat-obatan itu telah diketemukan dalam meningkatnya biomagnifikasi pada tanaman, sampai mencapai tingkat yang membayakan kesehatan manusia.
Meningkatnya proposi konsumen AS yang suka membeli makanan yang yang ditanam secara alami (tanpa pupuk kimia) dengan harga tinggi, mempolakan munculnya toko-toko makanan sehat. Seiring dengan itu, jumlah petani dan peladang alami meningkat, sebagai akibat tumbuhnya ketidakpercayaan terhadap akibat pestisida dan pupuk kimia. Pada tahun 1980, diperkirakan 30.000 petani AS (sekitar 1% dari seluruh petani) memandang dirinya “petani alami”. Mereka memetik panen lebih sedikit daripada “petani kimia”, tetapi biaya produksi yang mereka keluarkan juga lebih rendah (sebagian karena tidak menggunakan pupuk dan pestisida yang harganya naik, mengikuti kenaikan harga minyak), dan mereka umumnya dapat mempertahankan harga tinggi panenan merkea di toko-toko makanan sehat alamiah.
Pada tahun 1980, Departemen Pertanian AS (US Department of Agriculture=USDA) mengubah kebijakannya yang menentang pertanian organik (tidak menggunakan bahan-bahan kimia), dan mulai menganjurkan petani dan peladang untuk mempertimbangkan metode-metode alternatif produksi yang menggunakan kimia lebih sedikit (*Kebijakan “murtad” ini dimulai oleh Rob Berglund, sekretaris USDA, sebagai akibat hubungannya dengan teman petaninya di Minnesto yang mengerjakan 1.500 acre ladangnya secara organik. Berglund memerintahkan suatu pengkajian terhadap para petani organik di AS, yang bertetangga dengan para “petani kimia”, yang berada pada jenis tanah yang sama dan memproduksi tanaman yang sama. Hasil kajian ini membantu menyakinkan USDA untuk mengubah kebijakan anti organik sebelumnya). USDA juga mulai mengadakan program penelitian untuk mengembangkan jenis-jenis bibit yang tepat untuk pertanian dan peladang organik (USDA, 1980). Sigi terhadap para petani organik menunjukkan bahwa kebanyakan mereka bukanlah “hippies”, juga bukan tradisionalis yang rendah pendidikannya; ternyata, sebagian besar petani organik adalah para operator komersial yang umumnya bercirikan petani maju (berpendidikan diatas rerata, ladangnya luas, dsb). Namun demikian, kebanyakan petani organik itu saat ini dipandang para tetangganya sebagai penyimpang dari praktek-praktek pertanian konvensional (Lockert et al, 1981; Lockert dan Wennick, 1980).
Selama beberapa tahun menjelang perubahan kebijaksanaan tahun 1980, USDA menyadari bahwa pestisida kimia telah dipergunakan berlebihan oleh kebanyakan petani,dan karena itu telah melancarkan program yang dinamakan “penggunaan pestisida terpadu” (integreted pesticide management = IPM). Faktor pokok yang mendorong dimulainya program IPM adalah kenyataan bahwa lebih dari 400 jenis serangga (insect) telah kebal terhadap pestisida yang ada, seiring terhadap masalah konsumen sebagai akibat biomagnifikasi melalui makanan. IPM merupakan panduan secara cermat ladang para petani, biasanya dilakukan oleh para pemandu terlatih yang menasehati petani kapan masalah pestisida meningkat keambang batas ekonomi, dan kapan peyemprotan dengan pestisida dibenarkan. Para petani yang mengadopsi IPM biasanya menyatakan terjadi penghematan penting karena menurunnya jumlah penggunaan pestisida. Beberapa petani besar bisa menghemat ribuan dolar.
Kembali kepada kisah penyeledikan difusi saya di Iowa tahun 194, petani organik yang saya wawancarai tentunya telah habis-habisan menertawakan para ahli pertanian. Prosedur penilaian saya yang menggolongkanya sebagai seorang kolot pada tahun 1954, menurut ukuran sekarang sebetulnya adalah seorang inovator dalam pertanian organik.

Adanya beberapa diskontinuansi paksaan berkenaan dengan berbagai inovasi kimia pada tahun-tahun terakhir ini, yang disebabkan karena peraturan lembaga-lembaga Federal seperti Dinas Pengawasan Makanan dan Obat-obatan itu, menunjukkan adanya beberapa isu penting bagi penilitian difusi :
1.       Apakah efek suatu diskontinuansi yang dipaksakan itu terhadap kredibilitas lembaga-lembaga difusi, misalnya Dinas Penyuluhan Pertanian, yang tadinya mempromosikan inovasi yang sekarang dilarang.
2.       Apakah suatu diskontinuansi dipaksakan itu menyebabkan mereka para diskontinuan itu hilang kepercayaannya hilang terhadap ilmu pengetahuan dan penelitian ?.
3.       Peran apakah yang dimainkan pemaksaan diskontinuansi itu di dalam mendorong pengadopsian inovasi-inovasi alternaif ?.
Walaupun kami telah menggunakan inovasi-inovasi kimia pertanian dalam bagian ini untuk menguraikan diskontinuansi yang dipaksakan, dan kami telah membahas dampak diskontinuansi itu pada perilaku petani, tak diragukan bahwa ada efek tertentu pada konsumen makanan. Misalnya, apakah munculnya konsumsi makanan alami sebagi dampak alami sebagian karena masalah kesehatan konsumen yang telah diketemukan berkaitan dengan DDT, 2.4D, DES, dan obat-obatan pertanian lainnya?.
Kerentanan teknologis inovasi-inovasi bukan pertanian tertentu juga telah ditunjukkan oleh peristiwa-peristiwa beberapa tahun belakangan ini pemberian sacharin (bubuk pemanis) pada minuman ringan, ditariknya kembali dari peredaran sejumlah kendaraan, ban, dan produk-produk konsumsi lainnya. Apakah sesungguhnya akibat diskontinuansi dipaksakan ini pada jiwa masyarakat?.